cinta. Begitu mudahnya seseorang itu jatuh cinta. Tak menutup kemungkinan makhluk yang disebut dengan santri. Cinta seseorang kepada lawan jenis merupakan fitrah yang perlu dijaga dan dimanaj dengan kekuatan diri masing-masing orang. Santri sebuah pesantren bukanlah malaikat yang bersih dari nafsu syahwati. Santri pesantren bukanlah hamba Allah yang terjaga sepenuhnya dari kesalahan dan dosa, karena dia adalah manusia biasa yang memiliki perasaan sebagaimana orang di luar pesantren. Betapa banyak kita temukan cerita dalam sebuah novel-novel pop pesantren yang mengisahkan seorang santri yang jatuh cinta.
Betapapun kuatnya peraturan yang ada dalam sebuah pesantren itu ditegakkan. Seorang santri tetap saja tidak bisa menghindar dari adanya rasa saling tertarik kepada lawan jenis. Dan paling tidak peraturan itu hanya bisa sebagai benteng supaya tidak terjebak dalam pergaulan bebas sebagaimana yang terjadi di luar pesantren saat ini. Bukan berarti santri itu tidak mampu menjaga dirinya atau bahkan lebih ganas dari orang umum di luar pesantren, akan tetapi jauh dari itu adalah supaya nama baik pesantren tetap terjaga dengan baik, tidak tercemar dan jauh dari tuduhan-tuduhan negatif yang datang dari luar.
Jatuh cinta hanyalah sekedar perasaan suka. Hanya saja perlu adanya batasan-batasan dalam hal tersebut, salah satunya yaitu dibuatnya peraturan tidak diperbolehkannya seorang santri menjalin hubungan ajnabiyah (lawan jenis). Hal ini sebenarnya bertujuan baik sekali, karena bisa lebih mengontrol jam keluar santri di pesantren. Apabila peraturan ini dihilangkan, kemungkinan besar para santri beramai-ramai mengeksplor perasaan-perasaan liar kepada yang dicintainya. Namun permasalahannya sekarang adalah apakah salah bila seorang santri itu jatuh cinta?
Jawaban masing-masing person pasti bervariasi. Bagi mereka yang mengatakan boleh, tentunya bukan berarti menentang peraturan yang ada. Tapi lebih mengarah pada sisi positif dan negatifnya. Umpamanya bila ia tidak boleh jatuh cinta, maka ia akan stress dan hari-harinya diliputi kegelisahan yang sangat, padahal ia ingin segera memiliki pendamping hidup. Maka inilah keringanan baginya karena memang waktu yang sudah tepat. Dan tentunya akan mengarah pada sisi positifnya karena ia telah memiliki niat untuk menjalankan sunnah Rasulullah SAW yaitu menikah.
Lain lagi dengan santri yang memang belum saatnya untuk diberikan tanggung jawab besar seperti halnya rumah tangga dan hubungan dengan keluarga calon mertua. Maka akan sangat berbahaya dan lebih banyak sisi negatifnya dibanding kebaikan yang didapatkan. Kebanyakan mereka adalah para remaja yang tidak ada kontrol dari orang tua atau wali. Remaja yang memiliki kebebasan bergaul dengan siapa saja tanpa mengenal waktu. Dalam artian, tidak bisa membagi waktunya untuk kebutuhan di rumah, belajar dan sekolah atau pesantren.
Oleh karena itu, santri hendaknya bisa memprioritaskan antara kebutuhan belajar dengan kebutuhan bergaul. Lebih penting mana bermain di luar rumah ke sana-kemari dengan belajar mata pelajaran dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) dari guru sekolah ataupun ustadz pesantren. Bila ia bisa memprioritaskan diantara keduanya dengan tepat, niscaya ia akan lebih memilih bergaul dengan buku pelajaran dibanding nongkrong bersama teman satu genk yang hanya mendatangkan kesenangan semu dan obrolan kosong dan gosip. Sebaiknya, bila memang perlu, bolehlah hanyalah sekedar rasa persaudaraan saja dan tidak berlebihan sehingga membuang-buang waktu belajar. Na’udzubillah min dzalik