PROPOSAL SKRIPSI
Oleh:
Nanda Trisna Putra
NIM 08210031
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011
Setelah membaca dan mengkoreksi proposal skripsi saudara Nanda Trisna Putra, NIM 08210031, mahasiswa Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang dengan judul:
PROBLEMATIKA DAN HUKUM MELAKSANAKAN SHALAT SAAT MASA IHTIYATH
Maka pembimbing menyatakan bahwa proposal skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk diajukan dan diuji pada Majelis Dewan Penguji.
Malang, 24 Oktober 2011
Dosen Pembimbing,
Ahmad Wahidi, M.
NIP. 197706052006041002
KEMENTRIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS SYARI’AH
Terakreditasi “A” SK BAN-PT Depdiknas Nomor: 013
/BAN-PT/Ak- X/S1/VI/2007
Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144 Telp. 0341-551354 Fax. 0341-572533
Nama : Nanda Trisna Putra
Nim : 08210031
Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyyah
Dosen Pembimbing : Ahmad Wahidi, M.HI
Judul Skripsi : PROBLEMATIKA DAN HUKUM MELAKSANAKAN SHALAT SAAT MASA IHTIYATH
No | Hari / Tanggal | Materi Konsultasi | Paraf |
1 | 10 Oktober 2011 | Latar belakang Rumusan masalah | |
2 | 17 Oktober 2011 | Batasan Masalah Metpen | |
4 | 26 Oktober 2011 | Revisi Proposal | |
Malang, 25 September 2011
Mengetahui,
a.n. Dekan
Ketua Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Zaenul Mahmudi, MA.
NIP.19730603 199903 1 00
Penulis memanjatkan puji syukur pada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat mengerjakan proposal skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliyyahan dengan kesejukan ajaran Islam. Semoga kita mendapat syafa’at beliau di hari kiamat kelak. Amin.
Penulis sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, arahan serta saran-saran yang konstruktif, demi terselesainya proposal skripsi ini.
Malang, 24 Oktober 2011
Penulis
Shalat merupakan ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan memberi salam. Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam rukun Islam, Rasulullah saw memposisikannya pada posisi kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى قَالَ : أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.[1]
Artinya : Menceritakan pada kami Ubaidillah bin Musa, dia berkata: “ mengkabarkan pada kami Handzalah bin Abi Sufyan dari Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berakata: “ Rasulullah SAW bersabda: “Islam di bangun atas lima pilar : bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke ka’bah baitulnjadilah dan puasa di bulan Ramadhan.””
Karena Ibadah shalat merupakan ibadah yang telah ditentukan syariat, maka pelaksanaan shalat seorang muslim haruslah sesuai dengan tuntunan yang ada pada Al Quran dan sunnah rasul. Dalam hadits mutawatir yang sering kita dengar Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.
Shalat fardu merupakan salah satu amaliah dalam Islam yang berhubungan dengan ruang dan waktu dalam pelaksanaannya. Keberadaan shalat baik yang fardu maupun yang sunnah dalam Islam menempati posisi yang penting, sehingga dapat kita temui banyak sekali ayat dan hadits yang berbicara masalah shalat, baik tata cara maupun hikmahnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, shalat dalam pelaksanaannya berhubungan erat dengan ruang dan waktu. Al-Qur’an menegaskan:
Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Sehingga secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah muaqqat). Hal ini berimplikasi pada shalat tidak bisa dikerjakan pada sembarang waktu atau sesuka mushollinya. Walaupun dalam Al Qur’an tidak dijelaskan secara gamblang waktu-waktunya, namun telah Al Qur’an menentukannya. Sedangkan penjelasan waktu-waktu shalat yang terperinci diterangkan dalam hadist-hadist Nabi saw, salah satunya yaitu:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يحيى بن آدم ثنا بن المبارك عن حسين بن علي قال حدثني وهب بن كيسان عن جابر بن عبد الله وهو الأنصاري : أن النبي صلى الله عليه و سلم جاءه جبريل فقال قم فصله فصلى الظهر حين زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيء مثله أو قال صار ظله مثله ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلى حين وجبت الشمس ثم جاءه العشاء فقال قم فصله فصلى حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال قم فصله فصلى حين برق الفجر أو قال حين سطع الفجر ثم جاءه من الغد للظهر فقال قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شيء مثله ثم جاءه للعصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيء مثليه ثم جاءه للمغرب المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه ثم جاء للعشاء العشاء حين ذهب نصف الليل أو قال ثلث الليل فصلى العشاء ثم جاءه للفجر حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر ثم قال ما بين هذين وقت (رواه احمد وانساىء والترمدي)[4]
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ra berkata :” telah datang kepada Nabi SAW, Malaikat Jibril AS. lalu malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW ; bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian nabi shalat dhuhur di kala Matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata : bangunlah lalu sembahyanglah! Kemudian nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata : bangunlah lalu Shalatlah, kemudian Nabi Shalat Maghrib dikala Matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ lalu berkata : bangunlah dan Shalatlah Kemudian Nabi Shalat Isya’ dikala mega merah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi Sholat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata : di waktu fajar bersinar kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur, kemudian berkata kepadanya : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Dhuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi Shalat Ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama., tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, Kemudian Nabi shalat Isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah, Kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu shalat.”
Dengan kemajuan yang telah dicapai manusia dalam bidang ilmu falak. Berangsur-angsur manusia menemukan metode-metode terbaru untuk menentukan awal waktu shalat berdasar hadist yang menerangkan batasan-batasan waktu shalat di atas. Sebagai contoh kemajuan dunia falak dalam penentuan awal waktu shalat ini adalah ditemukannya metode rubu’, ephimiris, dan nautika. Penggunaan metode-metode terbaru tersebut muncul setelah ditemukannya jam yang terdiri dari satuan jam, menit, dan detik.
Penggunaan metode ephimiris dan nautika diterapkan dengan memperhatikan Lintang Tempat (f), Bujur Tempat (l), Deklinasi Matahari (do), Equation of Time/Perata Waktu (eo), Tinggi Matahari (ho), Koreksi Waktu Daerah (Kwd), dan Ihtiyath (i) dalam menentukan awal waktu shalat. Adapun rumus penentuan awal waktu shalat menurut metode ephimiris adalah sebagai berikut:
1. Dhuhur = (12 – e) + Kwd + i
2. Ashar = (12 – e) + (t/15) + Kwd + i
3. Maghrib, Isya’ =(12–e) +(t/15) + Kwd + i
4. Imsak = (12 – e) – (t/15) + Kwd + i
5. Subuh = (12 – e) – (t/15) + Kwd + i
Adapun yang dimaksud Ihtiyath adalah suatu langkah pengamanan dalam menentukan waktu shalat dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar tidak mendahului awal waktu shalat atau tidak melampaui batas akhir waktu shalat. Para ahli hisab dalam menentukan waktu untuk Ihtiyath berbeda-beda, ada yang menetapkan 2 menit, 3 menit, atau 4 menit. Pendapat yang umum dipakai adalah 2 menit untuk waktu Ihtiyath (Depag RI, 1994:9).[5] Langkah pengamanan ini perlu dilakukan disebabkan beberapa hal, antara lain: (a) adanya pembulatan-pembulatan dalam pengambilan data walaupun pembulatan itu sangat kecil. demikian pula hasil perhitungan biasanya diperoleh dalam satuan detik, maka untuk penyederhanaan pengamanan perlu dilakukan pembulatan sampai satuan menit, (b) jadwal waktu shalat diberlakukan untuk beberapa tahun atau sepanjang masa, sedangkan data yang dipergunakan diambil dari tahun tertentu atau secara rata-rata data matahari dari tahun ke tahun ada perubahan meskipun sangat kecil. Perubahan ini akan menimbulkan pula perubahan jadwal waktu shalat, walaupun sedikit, (c) penentuan data lintang dan bujur tempat suatu kota biasanya diukur pada suatu titik (markaz) pusat kota. Setelah kota itu mengalami perkembangan, maka luas kota akan bertambah dan tidak menutup kemungkinan daerah yang asalnya pusat kota kemudian berubah menjadi pinggiran kota. Akibat dari perkembangan ini ujung timur atau ujung barat suatu kota akan mempunyai jarak yang cukup jauh dari titik penentuan lintang dan bujur kota semula. Maka jika hasil perhitungan awala waktu shalat tidak ditambah Ihtiyath, ini berarti hasil tersebut hanya berlaku untuk titik markaz dan daerah sebelah timurnya saja, tidak berlaku untuk daerah sebelah baratnya.[6]
Penggunaan metode-metode terbaru ini yang menyertakan Ihtiyath pada sisi positif menghasilkan manfaat yang besar karena dengan metode tersebut umat Islam dapat menentukan awal masuknya waktu shalat jauh sebelum waktunya tiba dan bisa mengantisipasi datangnya waktu shalat, sehingga umat Islam dapat membuat jadwal shalat setiap bulan dan tahunnya. bahkan dengan metode ini umat Islam mampu membuat jadwal shalat abadi. Sehingga Pemerintah dan Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menggunakan metode ini untuk menentukan awal waktu shalat. Tetapi bukan berarti penggunaan metode yang menambahkan Ihtiyath ini tidak menyisakan problem.
Dengan kata lain, tujuan penambahan Ihtiyath satu menit, dua menit, atau selebihnya adalah untuk antisipasi agar jangan sampai ada seseorang yang shalat sebelum waktunya tiba atau shalat saat waktunya telah habis, dan sebagai usaha penyeragaman waktu shalat pada suatu daerah yang wilayahnya luas.
Pada awalnya peneliti mendukung dan setuju dengan konsep ini, tetapi kemudian peneliti melihat konsep Ihtiyath ini menimbulkan permasalahan dalam praktek perhitungannya. Ihtiyath sebagai langkah pengamanan dalam menentukan waktu shalat dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar tidak mendahului awal waktu shalat atau tidak melampaui batas akhir waktu shalat. Definisi yang diajukan para ahli tersebut tidak benar-benar dilaksanakan pada praktek perhitungannya. Pada penggunaan metode ephimiris dan nautika misalnya, dalam penghitungan jadwal setiap shalatnya semua menambahkan Ihtiyathnya, kecuali dalam penentuan awal waktu syuruq yang berarti penentuan akhir waktu shalat shubuh. Penggunaan metode ephimiris dan nautika sebagai contohnya, kedua metode tersebut diterapkan dengan memperhatikan Lintang Tempat (f), Bujur Tempat (l), Deklinasi Matahari (do), Equation of Time/Perata Waktu (eo), Tinggi Matahari (ho), Koreksi Waktu Daerah (Kwd), dan Ihtiyath (i).
Kesimpulan yang dapat diambil dari rumus di atas yang berkaitan dengan pembahasan Ihtiyath adalah setelah seluruh data yang terdiri dari Lintang Tempat (f), Bujur Tempat (l), Deklinasi Matahari (do), Equation of Time/Perata Waktu (eo), Tinggi Matahari (ho), Koreksi Waktu Daerah (Kwd) dihitung, hasil perhitungan tersebut kemudian ditambah Ihtiyath (i). Yang berarti jika ditambah Ihtiyath misalnya 2 menit (seperti Ihtiyath Depag RI), maka waktu shalat yang sebenarnya mundur 2 menit dan berimplikasi pada memanjangnya waktu shalat selama 2 menit dan mundurnya waktu shalat setelahnya selama 2 menit. Dengan demikian, penulis menyimpulkan terdapat kesenjangan antara hadits penentuan waktu shalat di atas dengan penerapan metode terbaru dalam menentukan awal waktu shalat.
Problematika Ihtiyath di atas mengusik dan menarik perhatian penulis, sehingga muncul keinginan penulis untuk melakukan identifikasi dan memecahkan masalah Ihtiyath ini yang selama ini seolah buah simalakama. Niat awal penulis adalah menemukan solusi terbaik pada problematika ini. Karena penulis melihat masalah ini sebagai masalah umat Islam.
Berpijak pada persolan dan fakta di atas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “PROBLEMATIKA DAN HUKUM MELAKSANAKAN SHALAT SAAT MASA IHTIYATH”
Berdasarkan persolan-persolan di atas, peneliti menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah problematika melaksanakan shalat saat masa ihtiyath?
2. Bagaimana hukum seseorang yang shalat dalam masa ihtiyath?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menyusun batasan masalah sebagai berikut:
1. Penentuan awal waktu shalat menurut al Quran, hadits, dan ilmu falak.
2. Bahasan masalah ihtiyath dalam ilmu falak perspektif Depag RI .
3. Hukum melaksanakan shalat wajib yang lima saat masa ihtiyath.
4. Pembagian waktu shalat menurut ulama fikih madzhab Syafii
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami problematika melaksanakan shalat saat masa ihtiyath.
2. Memahami hukum seseorang yang shalat dalam masa ihtiyath
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya bermanfaat dalam dua aspek, yaitu aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan dalam bidang falak, khususnya dalam perhitungan awal waktu shalat, serta penelitian ini diharapkan menjadi referensi awal munculnya penelitian yang melahirkan teori-teori ihtiyath baru. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat awam bahwa jadwal waktu shalat yang ada selama ini telah ditambah Ihtiyath, sehingga diharapkan pada masyarakat agar melaksanakan shalat pada awal waktu, jika terpaksa harus mengakhirkan shalat, maka diharapkan pada masyarakat agar melaksanakan shalat pada waktu yang tidak terlalu mendekati waktu shalat setelahnya.
Sebagai upaya merekontruksi dan mengetahui orisinalitas penelitian, di bawah ini peneliti sajikan sejumlah penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan tema, yaitu:
Tolha Hasyim Fanani, 2011, Metode Penentuan Waktu Shalat Masjid-masjid di Kab. Malang, Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penentuan waktu shalat di masjid-masjid Kab. Malang sudah menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan, yaitu dengan menggunakan alat berupa GPS, jam matahari, bencet (bencret), dan alat-alat lainnya. Tetapi tidak seluruh masjid yang ada, ini disebabkan karena kondisi keuangan dari masjid yang tidak memungkinkan untuk membeli alat-alat tersebut. Masjid-masjid yang tidak memiliki alat penentuan awal waktu shalat tersebut menggunakan ketentuan atau penentuan waktu shalat yang dikirimkan pada mereka, berupa jadwal shalat tahunan, meskipun masih ada beberapa masjid yang menggunakan radio untuk mengikuti informasi perkembangan waktu shalat terkini.
Penentuan awal waktu shalat di suatu daerah memiliki kebijakan tersendiri dalam penentuan metodenya. Malang misalnya, yang diwakili oleh masjid Jami’ sebagai central masjid di wilayah Malang yang memakai metode perhitungan matahari (jam matahari) dan bencet (bencret) untuk menentukan awal waktu shalat. Selanjutnya penulis menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan secara implicit dalam penentuan awal waktu shalat di masjid-masjid di Kab. Malang, hal ini dikarenakan karena semuanya terpusat. tetapi perbedaan tetap ada, karena kehati-hatian setiap pengurus masjid yang ada, yaitu dengan melebihkan atau mengurangi jadwal waktu shalat yang ada.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis angkat yaitu sama-sama membahas masalah penentuan awal waktu shalat. Sedangkan perbedaanya terletak pada jenis penelitian, metode pengumpulan bahan hokum, dan titik tekan penelitian. Dalam penelitian yang penulis angkat, penulis focus pada bahasan ihtiyath yang merupakan bagian dari unsur yang diperhitungkan dalam penentuan awal waktu shalat, kemudian penulis beranjak pada bahasan hokum melaksanakan shalat saat masa ihtiyath.
Moh. Afif Amrulloh, 2010, Metode Penentuan Awal Waktu Shalat Shubuh Menurut Departemen Agama dan Aliran Salafi, Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan dalam beberapa hal. Perbedaan perspektif dala penentuan awal shubuh antara BHR Depag dan aliran Salafi. BHR Depag menganggap masalah ini adalah masalah ijtihadiyah. BHR Depag berangkat dari perspektif astronomi, sedangkan aliran Salafi berangkat dari sudut pandang syar’i. Kedua, pengertian astronomical twilight yang berbeda. BHR Depag menganggap astronomical twilight sebagai fajar shadiq, sedangkan Salafi menganggapnya sebagai fajar kadzib.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis angkat yaitu sama-sama membahas masalah penentuan awal waktu shalat. Sedangkan perbedaanya terletak pada topik penelitian. Moh. Afif Amrulloh memfokuskan pada bahasan waktu shalat shubuh, sedangkan peneliti memfokuskan pada bahasan ihtiyath dan hokum melaksanakan shalat saat masa tersebut. perbedaan selanjutnya terletak pada jenis penelitian dan metode pengumpulan bahan hokum.
Pada buku Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa terbitan Depag tahun 1994 tertulis Ihtiyath merupakan langkah pengamanan dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar jadwal waktu shalat tidak mendahului awal waktu atau melampaui akhir waktu. Langkah pengamanan ini perlu dilakukan disebabkan adanya beberapa hal, antara lain:
a. Adanya pembulatan-pembulatan dalam pengambilan data walaupun pembulatan itu sangat kecil. Demikian pula hasil akhir perhitungan biasanya diperoleh dalam bentuk satuan detik, maka untuk penyederhanaan pengamanan perlu dilakukan pembulatan sampai satuan menit.
b. Jadwal waktu shalat diberlakukan untuk berpuluh tahun atau sepanjang masa, sedangkan data yang dipergunakan diambil dari tahun tertentu atau secara rata-rata. Data matahari dari tahun ke tahun ada perubahan walaupun sangat kecil. Perubahan ini akan menimbulkan pula perubahan jadwal waktu shalat.
c. Penentuan data lintang dan bujur tempat suatu kota biasanya diukur pada suatu titik (markaz) pusat kota. Setelah kota itu mengalami perkembangan, maka luas kota akan bertambah dan tidak menutup kemungkinan daerah yang asalnya pusat kota kemudian berubah menjadi pinggiran kota. Akibat dari perkembangan ini ujung timur atau ujung barat suatu kota akan mempunyai jarak yang cukup jauh dari titik penentuan lintang dan bujur kota semula. Maka jika hasil perhitungan awala waktu shalat tidak ditambah ihtiyath, ini berarti hasil tersebut hanya berlaku untuk titik markaz dan daerah sebelah timurnya saja, tidak berlaku untuk daerah sebelah baratnya. (daerah sebelah timur mengalami waktu lebih dahulu dari daerah baratnya)
Biasanya jadwal waktu shalat untuk suatu kota dipergunakan pula oleh daerah sekitarnya yang tidak terlalu jauh, seperti untuk jadwal kota kabupaten dipergunakan oleh kota-kota kecamatan sekitarnya. Agar supaya keadaan seperti itu tidak keliru maka diperlukan adanya ihtiyathi. Nilai ihtiyathi yang dipakai oleh H. Saadoeddin Jambek adalah sekitar 2 menit. Ada pula para ahli hisab yang menentukan lebih dari 2 menit seperti terlihat pada waktu shalat Almanak Menara Kudus dimana waktu Dzuhur ditetapkan selalu jam 12.04, pada hal untuk waktu istiwa dinyatakan bahwa matahari berkulminasi jam 12.00 ini berarti ada unsur ihtiyathi sebanyak 4 menit. Memang tidak ada ketentuan pasti, berapa menit nilai yang harus dijadikan nilai ihtiyathi, namun demikian nilai ihtiyathi harus bisa menjadi pengaman dan tidak terlalu besar sehingga awal waktu shalat tidak terlalu mundur dari seharusnya.
Direktorat badan pembinaan badan peradilan agama Islam mempergunakan ihtiyathi sekitar 2 menit seperti dikemukakan H. Saadoeddin Jambek, kecuali jika jadwal dimaksud dipergunakan oleh daerah sekitar 30 km. Nilai ihtiyathi 1-2 menit sudah diaggap cukup memberikan pengamanan terhadap pembulatan-pembulatan dan rata-rata, juga mempunyai jangkauan 27,5 sampai 55 km ke arah barat dan timur.[7]
Ihtiyath atau Ihtiyathi merupakan langkah pengamanan dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu yang telah dihitung agar tidak mendahului awal waktu shalat atau melampaui akhir waktu shalat. Hal ini perlu dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain:
1. Data-data yang disediakan telah dilakukan pembulatan, sehingga jika data yang dihitung sampai menit, berarti satuan detik telah dibulatkan ke menit.
2. Perhitungan waktu shalat dihitung sampai satuan menit, sehingga meskipun hasil akhir perhitungan mengandung satuan detik, satuan detik tersebut dihilangkan atau dibulatkan ke satuan menit.
3. Data-data lintang ataupun bujur daerah yang disediakan pada tabel diambil pada suatu titik pada pusat kota, sehingga daerah-daerah yang berada di pinggiran kota pada dasarnya tidak sama dengan pusat kota, nilai Ihtiyathi bervariasi antara 2 sampai 4 menit. Nilai Ihtiyathi yang ditetapkan oleh H Saaduddin Djambek misalnya, sekitar 2 menit.[8]
Para ahli hisab dalam menentukan waktu untuk Ihtiyath berbeda-beda, ada yang menetapkan 2 menit, 3 menit, atau 4 menit. Pendapat yang umum dipakai adalah 2 menit untuk waktu Ihtiyath (Depag RI, 1994:9).[9]
Langkah pengamanan ini perlu dilakukan disebabkan beberapa hal, antara lain: (a) adanya pembulatan-pembulatan dalam pengambilan data walau[pun pembulatan itu sangat kecil. demikian pula hasil perhitungan biasanya diperoleh dalam satuan detik, maka untuk penyederhanaan pengamanan perlu dilakukan pembulatan sampai satuan menit, (b) jadwal waktu shalat diberlakukan untuk beberapa tahun atau sepanjang masa, sedangkan data yang dipergunakan diambil dari tahun tertentu atau secara rata-rata data matahari dari tahun ke tahun ada perubahan meskipun sangat kecil. Perubahan ini akan menimbulkan pula perubahan jadwal waktu shalat, walaupun sedikit, (c) penentuan data lintang dan bujur tempat suatu kota biasanya diukur pada suatu titik (markaz) pusat kota. Setelah kota itu mengalami perkembangan, maka luas kota akan bertambah dan tidak menutup kemungkinan daerah yang asalnya pusat kota kemudian berubah menjadi pinggiran kota. Akibat dari perkembangan ini ujung timur atau ujung barat suatu kota akan mempunyai jarak yang cukup jauh dari titik penentuan lintang dan bujur kota semula. Maka jika hasil perhitungan awal waktu shalat tidak ditambah ihtiyath, ini berarti hasil tersebut hanya berlaku untuk titik markaz dan daerah sebelah timurnya saja, tidak berlaku untuk daerah sebelah baratnya.[10]
Secara teoritik selisih 1 bujur sama dengan 111 km dan perbedaannya 4 menit dalam ukuran waktu. penggunaan Ihtiyath 1 menit sama dengan 111: 4 = jarak 27,75 km (dalam arah Barat–Timur). Namun pemakalah menyebut bahwa ihtiyath sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan bujur saja, namun juga dengan ketinggian tempat. Bagi ahli Falak yang dalam perhitungan awal waktu salat yang memperhitungkan kerendahan ufuk hanya melakukan koreksian ketinggian tempat, semidiameter, dan refraksi. Suatu kota atau daerah adakalanya tidak rata, terdapat bagian yang tinggi dan ada bagian yang rendah. Daerah yang tinggi akan mendapati matahari terbenam lebih belakangan dari daerah yang rendah (biasanya dekat pantai). Jadi ihtiyath juga untuk mengantisipasi kondisi tersebut.[11]
Dalam pemberian waktu ihtiyath, terdapat perbedaan di kalangan ahli Falak sebagai berikut:
1. Kalangan pesantren tertentu tidak mencantumkan waktu ihtiyath dalam jadwal salat yang dibuatnya. Pelaksanaan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu slat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang sebenarnya. Jadwal yang dibuatnya ini bersifat internal; hanya diberlakukan di pondok pesantren yang bersangkutan.
2. Noor Ahmad SS menggunakan Ihtiyath 3 menit untuk setiap perhitungan awal waktu salat. Kecuali untuk awal waktu Zuhur, ia menggunakan ihtiyath 4 menit.
3. Ibnoe Zahid Abdo el-Moeid menggunakan Ihtiyath 2 menit untuk setiap perhitungan awal waktu salat. Kecuali untuk awal waktu Zuhur, ia menggunakan ihtiyath 4 menit.
4. Muhyidin Khazin menyatakan bahwa Ihtiyath dalam penentuan awal waktu shalat sebesar 1 sampai 2 menit.
5. Zul Efendi seorang ahli Falak murid Arius Syaikhi, menggunakan ihtiyath satu atau dua menit dalam jadwal salat yang ia buat dan banyak dipakai di berbagai kota di Sumatera Barat. Besaran ihtiyath yang digunakan tergantung besar kecilnya kota yang dihitung jadwal salatnya tersebut. Misalnya untuk kota Bukittinggi yang relatif kecil digunakan ihtiyath sebesar 1 menit sedangkan jadwal salat untuk kota Padang yang merupakan kota besar menggunakan ihtiyath sebesar 2 menit.[12]
Metode penelitian merupakan sebuah entitas yang tak terpisahkan dalam sebuah penelitian. Sebab, metode penelitian merupakan sebuah sistem kerja yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Saifullah, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa metodologi penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menguhubungkan antara dunia ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dan das sein sehingga kesenjangan yang terjadi di lapangan atau yang berkecamuk dalam dunia pemikiran dapat terumuskan jawabannya.
Penggunaan metode penelitian dalam pra, proses maupun hasil penelitian merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini sangat menentukan kualitas hasil penelitian.[13] Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal. Metode penelitian ini terdiri dari:
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian yang akan dibahas ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penelitian hukum normatif, karena penelitian ini membahas aturan-aturan masa ikhtiath dalam penentuan awal waktu shalat beserta hukum melaksanakan shalat saat masa tersebut
Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Karena pendekatan kualitatif digunakan apabila data-data yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasi.[14] Menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata ataupun tulisan.[15]
Sumber data dalam penelitian merupakan persoalan dimana data dapat ditemukan.[16] Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai jenis data sekunder.[17] Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis sumber data sekunder. Kemudian sumber data sekunder ini dibagi oleh peneliti menjadi:[18]
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Yang dalam hal ini meliputi al Quran. Hadits sebagai mashadir hukum dalam ajaran Islam, dan kitab-kitab fikih syafiiyyah.
2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
a) Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa terbitan Depag .tahun 1994.
b) Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Refika Aditama. Bandung.
c) Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id akses tgl 20 10 2011
d) Susiknan Azhari. Ilmu Falak Teori dan Praktek Lazuardi. Yogyakarta.
e) Moh murtado. Ilmu Falak Praktis. 2008. Uin press. Malang
3) Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedia maupun kamus.
Merupakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data.[19] Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[20] Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.[21]
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian hukum normative yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Data-data yang diperoleh selama penelitian rencananya akan diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Editing
cara ini harus pertama kali dilakukan dengan meneliti kembali catatan atau informasi yang diperoleh dari data-data pustaka untuk mengetahui apakah catatan atau informasi yang tersebut sudah cukup baik atau belum dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya.[22]
b. Classifiying
Seluruh data baik yang berasal dari al Quran, sunnah, kitab-kitab fikih, teori penentuan awal waktu shalat, komentar peneliti sendiri, dan dokumen yang berkaitan hendaknya dibaca dan ditelaah (diklasifikasikan) secara mendalam.[23]
c. Verifying
Langkah dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi dari data-data pustaka harus di Cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca. [24]
Dari berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini, maka tahap berikutnya adalah analisis data untuk memperoleh kesimpulan akhir hasil penelitian ini. Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan.[25] Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Menurut Lexy J. Maleong terdapat beberapa cara untuk menguji keabsahan data.[26] salah satunya adalah metode Triangulasi, yaitu teknik pengecekan atau pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.[27] Atau dengan kata lain teknik ini membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan isi suatu dokumen yang berkaitan seperti buku dan literatur lainnya.
Dalam hal ini peneliti menggunakan metode analisis data Content Analysis atau analisis isi buku. Content analysis yaitu analisis data yang mendasarkan pada isi dari data deskriptif.[28] Setelah melihat dan mempelajari konsep penentuan awal waktu shalat menurut al Quran maupun hadits dan metode falak terbaru yang mempertimbangkan ihtiyath, maka data tersebut akan dianalisis dengan cara membandingkan kedua aturan tersebut dan kemudian ditinjau dengan menggunakan teori kemaslahatan berdasarkan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah.
Tahap berikutnya adalah tahapan concluding. Hal ini merupakan pengambilan kesimpulan dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban atas semua pertanyaan yang menjadi generalisasi yang telah dipaparkan dibagian latar belakang.[29]
Secara keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi 6 bab, yang rinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, yaitu gambaran umum tentang kegelisahan akademik penulis yang dituangkan dalam latar belakang masalah. Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah. Jawaban dari perntayaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Temuan dalam penelitian diharapkan memberikan manfaat positif dalam ranah teoritik maupun praktik. Sebagai identifikasi awal, penulis menhadirkan definisi operasional dari kata kunci penelitian. Selanjutnya penulis menentukan metode penelitian sebagai media pemecahan masalah yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Untuk menguji orisinalitas penelitian, pada bagian ini juga dicantumkan penelitian terdahulu. Kemudian diakhiri dengan sistematika pembahasan sebagai peta bahasan penelitian.
BAB II : TEORI DAN KONSEP YANG DIKAJI, meliputi pandangan teks-teks agama yang bersumber dari al Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW, serta teori-teori penentuan awal waktu shalat, kitab-kitab fikih Syafiiyyah, dan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah sebagai pendekatan keilmuan yang dijadikan alat untuk pemecahan masalah
BABIII : PROBLEMATIKA SHALAT SAAT IHTIYATH, Bab ini merupakan inti dari penelitian karena pada bab ini akan menganalisis data-data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya menggunakan teori-teori yang dikemukakan dalam kajian pustaka dan dilengkapi dengan pendangan peneliti terhadap temuan tersebut.
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN meliputi jawaban singkat atas rumusan masalah yang telah ditetapkan. Sedangkan saran adalah usulan atau anjuran kepada pihak-pihak terkait atau memiliki kewenangan lebih terhadap tema yang diteliti demi kebaikan masyarakat atau penelitian di masa-masa mendatang.
Penentuan waktu dalam sebuah penelitian menempati posisi yang penting. Hal tersebut bertujuan agar penelitian berjalan dengan lancar dan terstruktur. Adapun untuk time schedule penelitian ini peneliti susun sebagai berikut;
NO | KEGIATAN | WAKTU |
1. | Revisi proposal | 7 Nov – 14 Nov 2011 |
2. | Penyusunan Bab I, konsultasi, revisi | 15 Nov – 21 Nov 2011 |
3. | Penyusunan Bab II, konsultasi, revisi | 22 Nov – 29 Nov 2011 |
4. | Penyusunan Bab III, konsultasi, revisi | 30 Nov – 15 Des 2011 |
5. | Penyusunan Bab IV, konsultasi, revisi | 16 Des – 22 Des 2011 |
6. | Koreksi, Revisi keseluruhan | 22 Des – 6 Jan 2012 |
7. | Pendaftaran Ujian Skripsi | 7 Jan – 11 Jan 2012 |
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005
Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Refika Aditama. Bandung.
Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id akses tgl 20 10 2011
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT.Rosda Karya, 2005
Murtado, Moh. Ilmu Falak Praktis, Malang: Uin press, 2008.
Saifullah, REFLEKSI PENELITIAN : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan Penelitian,dapat dilihat dihttp :// www . uinmalang .ac . id / index. php? Option = com_content&view=article&id=1678:refleksi-penelitian&catid=36:kolom-pr2s, (diakases tanggal 2 Desember 2010
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986
Susiknan Azhari. Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuardi, 2001.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Andi offset, 1993
Tim Dosen Fak. Syari’ah, Buku Pedoman penulisan karya ilmiah, Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2011
Departemen Agama RI Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang , 1994.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002
[9] Moh Murtado, Ilmu Falak Praktis, 2008 (Malang : Uin press), 193
[11] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id diakses tgl 13 Oktober 2011
[13] Saifullah, “Refleksi Penelitian : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan Penelitian”, http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1678:refleksi-penelitian&catid=36:kolom-pr2s, diakases tanggal 2 Desember 2010)
[14]Tim Dosen Fak. Syari’ah, Buku Pedoman penulisan karya ilmiah (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2011)
[15]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 3.
[17]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 23-24.
[18]Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 52.
[19]Sutrisno Hadi, Op.Cit., hlm 83
[20]Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 68.
[21]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 206.
[24] Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 85.
[25] Dadang kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000) 102
[26] Lexy J. Maleong, Op.Cit., hlm.326
[27] Ibid., hlm.330
[28]Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), 65.