BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi sebenarnya merupakan instrumen kekuasaan yang didesain oleh penguasa untuk menjalankan keputusan-keputusan politiknya dalam arti formil. Namun dalam praktiknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Karena itu, sistem, proses dan prosedur penyelenggaraan negara dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan negara dan pembangunan harus diatur oleh produk hukum.
Begitu luasnya cakupan tugas-tugas administrasi negara dan pemerintahan, sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Patut disadari, bahwa problem kekuasaan, dan perihal kewenangan serta fenomena konflik struktural merupakan hal yang sukar untuk dipisahkan satu sama lain, terlebih bila berbicara mengenai tata kelola pemerintahan itu sendiri. Kekuasaan merupakan sumber kewenangan dan konflik merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas.
Hal ini sepenuhnya telah lama disadari oleh Weber sebagai bapak reformasi birokrasi, bahwa konflik merupakan konsekuensi dari tuntutan struktur birokratis terhadap adanya otoritas kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Pemberian dan penggunaan kewenangan secara tidak terkontrol oleh hukum dan pengawasan masyarakat dapat menjerumuskan para penguasa birokrasi dan pejabat pemerintahan kepada perbuatan yang sewenang-wenang.
Hukum Administrasi Negara dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi negara. Administrasi negara di sini mencakup keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, baik tugas yang berkaitan dengan layanan masyarakat (public service), pelaksanaan pembangunan, kegiatan perekonomian, peningkatan kesejahteraan, dan lain sebagainya.
Termasuk di sini adalah tugas yang dijalankan oleh administrasi negara untuk melaksanakan berbagai tugas yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan administrasi pemerintahan adalah tatalaksana dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual oleh badan atau pejabat pemerintahan (unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang diluar kekuasaan legislatif dan yudisiil yang diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.
Peraturan kebijaksanaan (beleid regels), adalah merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies ermessen yang dalam praktek banyak ditemukan dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Akibatnya banyak sekali Keputusan Presiden yang ditetapkan, termasuk berkenaan dengan sesuatu materi ketentuan yang seharusnya dituangkan dalam bentuk Undang- Undang, ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal yang sama juga terjadi dengan para Menteri untuk memenuhi kebutuhan praktis di lapangan, biasa mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur kepentingan umum dalam bentuk Keputusan Menteri belaka, sehingga bukan saja soal substansi yang diatur itu yang menjadi persoalan, tetapi juga berkenaan dengan bentuk hukum dan nomenklatur peraturan yang digunakan itu juga menimbulkan masalah9 dalam hal ini banyak ditemukan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang seharusnya materi muatannya adalah keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final, tetapi ternyata materi muatannya adalah pengaturan yang bersifat umum. Saat ini di dalam Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 sudah diatur bahwa materi muatan10 yang bersifat pengaturan yang bersifat umum dimuat didalam bentuk peraturan.
Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi yang merupakan bagian dari Freies Ermessen artinya kebebasan mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Freies Ermessen?
2. bagaimana penerapan asas Freies Ermessen?
3. Mengapa diperlukan Fries Ermessen?
4. Jelaskan asas-asas yang berkaitan dengan Freies Ermessen?
5. Apa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Freies Ermessen
2. Mengetahui penerapan asas Freies Ermessen
3. Mengetahui sebab diperlukannya Fries Ermessen
4. Mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan Freies Ermessen
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Freies Ermessen
Pengertian Freies Ermessen ; Freies berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
Pouvoir Discretionare atau Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara pada welfare state. Fungsi publik service dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian kekuasaan antarlembaga negara yaitu dari lembaga legislative ke lembaga eksekutif (administrasi negara). Pengertian discretie dalam pourvoir discretionare adalah pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuriditas dan asas legalitas. Sedangkan hakikat diokrasi yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedang aturan untuk itu belum ada. Bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi negara.
SF Marbun mengatakan bahwa dengan diberikannya kebebasan bertindak (freies ermessen) kepada administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state atau social rechtstaat di Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies ermessen akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di Netherland membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik atau algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari pejabatpejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim atau Pengadilan Administrasi kelak akan mempergunakan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah, namun keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa karena telah hilang relevansinya.
Dengan adanya freies ermessen ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke dalam tangan pemerintah/administrasi negara, sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif karena administrasi Negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan Undang- Undang dari bidang legislatif. Hal tersebut karena pada prinsipnya Badan/Pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.
B. Penerapan Asas Freies Ermessen
Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4. Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
Dari perwujudan sikap tindak administrasi negara dapat ditentukan tolak ukur dari asas freies ermessen secara singkat yaitu :
1. Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri.
2. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu.
3. Harus dapat dipertanggungjawabkan.
C. Sebab Diperlukannya Fries Ermessen
Salah satu aspek penting yang terkait dengan prinsip akuntabilitas dalam reformasi birokrasi Indoensia saat ini adalah perihal kewenangan diskresi. Sebagaimana diketahui, diskresi ataupun yang lazim dikenal dalam bahasa Jerman sebagai Freies Ermessen merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur. Prinsip ini merupakan unsure exception dari asas legalitas itu sendiri. Diskresi dapat dikatakan sebagai bentuk wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan yang memungkinkan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup administrasi atau tata kelola suatu pemerintahan.
Lebih jauh, dalam pasal 1 ayat (5) Rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) ditegaskan, diskresi merupakan kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain Diskresi merupakan keputusan pejabat administrasi pemerintahan yang bersifat khusus, bertanggungjawab dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik demi terselenggaranya kinerja administrasi yang sehat.
Bertolak dari definisi di atas, maka badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan kewenangan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi, dan senantiasa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dipaparka diatas. Diantara asas-asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar adalah larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. badan atau pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih terjadi kekososngan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak (pouvoir discretionnaire/freies ermessen).
D. Asas-Asas yang Berkaitan dengan Freies Ermessen
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam prakteknya, secara yuridis mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya. Dalam perspektif tata kelola pemerintahan, setiap badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawabnya wajib melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas kepastian hukum menghendaki keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Asas keseimbangan mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, antara kepentingan antar individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; keseimbangan antar individu dengan masyarakat; antar kepentingan warga negara dan masyarakat asing; antar kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; keseimbangan antara generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang termasuk keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya. Asas ketidakberpihakan menghendaki badan atau pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
Asas kecermatan mengandung arti, bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan.
Asas tidak menyalahgunakan kewenangan mengharuskan setiap badan atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut.
Asas keterbukaan lebih cenderung pada aspek public service yang baik dan bagaimana masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Asas profesionalitas mengutamakan keahlian yang sesuai dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi badan atau pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan pemerintahan yang bersangkutan.
Asas kepentingan umum lebih menekankan dimensi kebijakan pemerintah yang berdampak pada kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.
Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu;
1. Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri;
2. untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu;
3. tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi.
Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan.
Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya.
Dalam rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.
Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan; pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
E. Kelebihan dan Kekurangan Dalam Penggunaan Prinsip Freies Ermessen
Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; pertama; kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; kedua; badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception).
Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masyarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya:
1. Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat;
2. Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
3. Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya.
4. Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi Negara. Freies Ermessen merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur. Perwujudan sikap tindak dari administrasi negara dalam implementasi freies ermessen bisa terdiri dari beberapa hal diantaranya :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum.
2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.
3. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
4. Menjalankan fungsi quasi yudisial, terutama “ keberatan” dan “ banding administrasi”.
B. Saran
Penggunaan konsep freies ermessen harus tepat sasaran dan terkontrol dengan baik. Kebebasan bukan berarti bertindak semaunya, tetapi bebas dalam artian terbuka lebar peluang untuk berbeda asal mempunyai tujuan yang jelas disertai perhitungan yang matang
DAFTAR PUSTAKA
A Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2000
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta 2004
SF Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Di Indonesia, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta 2001