BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al Qur’an merupakan salah satu sumber hukum Islam yang utama. Al-qur’an ditulis dalam bentuk mushaf yang didalamnya terdapat nash-nash dan lafadz-lafadz. Sehingga apabila kita ingin mencari suatu sumber atau dalil mengenai hukum Islam tentulah kita harus membaca lafadz-lafadz dari al-qur’an itu sendiri dan itu berkaitan dengan tata bahasa.
Untuk menggali hukum,terutama hukum syari’ah, tidak terlepas dari pembahasan. Kebahasan karena hampir delapan puluh persen penggalian. Hukum syari’at menyangkut lafadz. Sebenarnya lafadz-lafadz yang menunjukkan harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya petunjuk (dilalah) lafadz-lafadz yang terdapat dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan ada yang kurang jelas (khafa). (Syafi’I, 2007:150)
Begitu juga kaitannya dengan mujmal-mubayyan dan mantuq-mafhum. Dalam lafadz-lafadz al-Qur’an baik. Ditinjau dari segi lafadz dan dalalahnya ada berbagai macam. Sehingga kita akan sulit menemukan hukum syara’ yang sesuai jika kita hanya sekedar membaca lafadz/nash. Oleh karena itulah pembahasan mengenai mujmal-mubayyan dan mantuq-mafhum merupakan salah satu upaya yang membantu dalam rangka memahami nash guna untuk mendapatkan atau mengetahui hukum syari’ah yang tepat. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas lebih terperinci mengenai mujmal-mubayyan dan mantuq-mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan Mafhum
Suatu lafadz bila ditinjau dari cara menunjukkan makna, menurut Hanafiah terbagi dalam empat bagian, yaitu Ibarat Nash, Isyarat Nash, Dilalah Nash, dan I’tiqad Nash. Sedang menurut Syafi’iah terbagi dalam Mantuq dan Mafhum. (Syafe’i. 2007: 215)
Oleh karena itu dalam makalah ini akan lebih mendalam mengenai pembagian lafadz bila ditinjau dari cara menunjukkan maknanya yang menurut Syafi’iah, yaitu mantuq dan mafhum yang sebenarnya dalam pembahasan itu juga mencakup pembagian yang menurut Hanafiah.
1) Mantuq
a) Pengertian Mantuq
Mantuq ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan. (Bakri. 1993: 170)
Dalalah Mantuq adalah petunjuk lafadz kepada arti yang disebutkan oleh lafadz itu sendiri. (Mu’in dkk. 1986: 91)
Dalalah Mantuq adalah petunjuk lafadz pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz itu sendiri. Dilalah seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiah yaitu ibarat, isyarat, dan i’tiqad nash. (Syafe’I, 2007: 215)
b) Dalalah Mantuq
Syaikh Muhammad al Khudari menjelaskan bahwa dalalah mantuq dibagi dalam dua macam, yaitu dalalah mantuq sharih dan ghairu sharih.
Ø Dalalah Mantuq Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan dalam lafadz tersebut. Misalnya dalam firman Allah (QS. Al Isra’: 23)
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah”
Lafadz pada ayat di atas, secara tegas menunjukkan keharaman berkata kasar kepada kedua orang tua.
Ø Dalalah Mantuq Ghairu Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. Arti yang ditunjuki dengana dalalah mantuq ghairu sharih ini dapat berupa: pertama, arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafadz akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafadz, dan kedua arti yang disebutkan oleh tuturan lafadz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan syara’ (lafadz). (Mu’in dkk, 1986: 91)
c) Pembagian Mantuq
Ø Nash, yaitu sumber perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wil lagi. Seperti Firman Allah SWT
فَلَيَصُومُ ثَلاَ ثَةَ أياَمٍ
“Maka hendaklah berpuasa tiga hari”
Ø Dzahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan suatu makan, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT (QS. Ar Rahman: 27)
وَيَبقَى وَجهُ رَبِكَ
“Dan kekal wajah Tuhan engkau”
Wajah dalam ayat tersebut diartikan dengan zat, karena mustahil Tuhan mempunyai wajah. (Bakri, 1993: 171)
2) Mafhum
a) Pengertian
Mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. (Bakri, 1993: 170)
Dalalah mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi dari paham tersebut tersirat di dalam. ( Mu’in, dkk. 1986: 93)
Dilalah Mafhum ialah petunjuk lafadz pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. (Syafe’I, 2007: 215)
b) Dilalah Mafhum
Dilalah Mafhum ada 2 macam
1. Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan.(Bakri, 1993: 171)
Dalalah Mafhum Muwafaqah ialah pengertian yang menunjukkan lafadz pada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat hukumnya. (Mu’in, dkk. 1986: 94)
Mafhum Muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dengan dilalah nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad. Disebut Mafhum Muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan yang tertulis. (Syafe’I, 2007: 216)
Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada:
Ø Fahwal Kitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
“Jangan kamu katakana kata-kata yang keji kepada dua orang ibi bapakmu”
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi sampai memukulnya.
Ø Lahnal Kitab, yaitu apabial yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman AllahQS. An Nisa’ ayat 10
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
“Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka” (Bakri, 1993: 172)
2. Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah yaitu pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) atau nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya dari pada bunyi lafadz yang diucapkan.
Seperti firman Allah SWT (QS. Al-Jum’at: 09)
#sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs
×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Artinya:
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli dihari jum’at sebelum adzan dan sesudah mengerjakan sembahyang. (Bakri, 1993:172)
a. Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah
Untuk Sah-nya mafhum mukhalafah, ada 4 (empat) syarat yaitu:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.
Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$Î)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%2 $\«ôÜÅz #ZÎ6x. ÇÌÊÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Mafhumnya kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq: (QS. Al-Isra':33 )
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur @ÏFè% $YBqè=ôàtB
ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß xsù Ìó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan. kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (Bakri, 1993: 173)
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23)
Yang disebutkan hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli. (Bakri, 1993: 172)
2. Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm
Artinya:
“Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu.” (QS. An-Nisa: 23)
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharanmu”tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya. (Bakri, 1993: 174)
3. Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
المسلم من سلم المسلمون من يديه ولسانه
Artinya:
“Orang islam adalah orang yang tidak mengganggu orang-orang isalam lainya. Baik dengan tangan maupun lisanya.” (Hadits)
Dengan perkataan orang-orang islam (muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara orang-orang islam itu sendiri.(Bakri, 1993: 174)
4. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh (QS. Al-Baqarah: 187)
wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 ÇÊÑÐÈ
Artinya:
“janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) padahal kamu sedang beritikaf dimasjid.. (Bakri, 1993: 174)
a. Macam-macam Mafhum Mukhalafah
1. Mafhum Sifat
Yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman allah:
ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB
“Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.
(QS,An-Nisa’:92)
Bisa bermakna yaitu yang dimaksud adalah sifat maknawi, (Bakri, 1993: 175)
Seperti firman Allah QS. Al-Hujarat: 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2
(#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa,meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik
(mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
2. Mafhum ‘Adad
Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan yang tertentu.
Seperti firman Allah (QS. An-Nur: 4)
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ÇÍÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. (Bakri, 1993: 175)
3. Mafhum Syarat
Yaitu dengan memperhatikan syarat yang terkandung dalam isi surat.
Seperti firman Allah QS. At-Thalaq: 6
4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÇÏÈ
Artinya
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah. (Bakri, 1993: 175)
4. Mafhum Ghoyah
Yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghoyah (batasan,hinggaan), hingga lafadz ghoyah ini adakalanya dengan “ila” dan dengan “hatta”.
Seperti firman Allah QS. Al-Maidah: 6
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# ÇÏÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”
Seperti firman Allah lagi dalam QS. Al-Baqarah: 222
( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( ÇËËËÈ
Artinya:
“Dan jangan kamu dekati istri-istrimu hingga mereka itu suci" (Bakri, 1993: 176)
5. Mafhum Had
Yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ‘adad diantara adat-adatnya.
Seperti firman Allah dalam QS. Al An-‘Am ayat 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B
÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã ¨bÎ*sù
/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena Sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.Barang siapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Bakri, 1993: 172)
6. Mafhum Laqab
Yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
قَالَ ص اَبُوبَكرٍ فى الجَنة وعُمَرِفى الجَنة وعُثمَان فلا الجَنة وعَلِي فى الجَنة اِلى عِدةِ العشر
Artinya:
“Abu bakar masuk syurga, Umar masuk syurga, usman masuk syurga, dan Ali masuk syurga sampai-sampai bilangan itu sepuluh”. (Hadits Hasan)
(Bakri, 1993: 172)
B. Mujmal dan Mubayyan
1. Tingkatan Lafadz dari Segi Kejelasan
Para ulama’ berbeda dalam mengatasi tingkatan dilalah lafadz dari segi kejelasannya. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafadz dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagaian, yaitu: zhahir, nash (mubayyan), mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidak jelasannya mereka membagi menjadi empat pula, yaitu: khofi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin yang dipelopori oleh As-Syafi’I, yang membagi lafadz dari segi kejelasannya menjadi dua yaitu: zhahir dan nash. Kedua bentuk lafadz ini disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidak jelasannya dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Syafe’I, 2007: 151)
Pembagaian lafadz ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin tidaknya ditakwil atau dinasakh. (Syafe’I, 2007: 151)
Adapun yang akan kami bahas dalam makalah ini hanya mengenai mujmal dan mubayyan saja.
2. Mujmal Menurut Hanafiyah
a. Pengertian
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah, As-Sarakhsi menjelaskan mujmal adalah lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran. (Syafe’I, 2007: 166)
Mujmal adalah suatu lafadz yang cocok untuk berbagai ma’na tetapi tidak ditentukan ma’na yang dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya. (Syafe’I, 2007: 150)
Mujmal ini dapat terjadi karena adanya lafadz-lafadz yang diambil oleh syara’ dari pemakaiannya menurut bahasa kedalam arti menurut istilah syar’I hukum.
b. Contoh
Ø Lafadz الصلاة menurut bahasa berarti do’a, tetapi menurut istilah syara’ berarti ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah.
واقيموا الصلاة ( البقرة : 43)
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat”
Dijelaskan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya:
“Shalatlah seperti kamu melaksanakan shalat”. ( Mu’in, 1986: 75)
Ø Lafadz الحج , yang terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Imran ayat: 97
3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 ÇÒÐÈ
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah".
Dijelaskan dalam hadits Rasulullah
خُذُوا عَنيِ مَنَاسِكَكُم
Artinya:
“Ambillah dari saya perbuatan-perbuatan ibadah hajimu”.(Mu’in, 1986: 76 )
c. Kedudukan (hukum) Lafadz Mujmal
Dari aspek keharusan penjelasan dari syara’ tentang lafadz mujmal itu timbul masalah ,yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Qur’an. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal harus melihat nash Al-qur’an. (Syafe’I, 2007: 166)
3. Mujmal Menurut Syafi’iyah
a. Pengertian
Mujmal adalah suatu lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas. Dengan demikian makna yang dimaksud itu memerlukan penjelasan. (Syafe’I, 2007: 168)
b. Contoh
Ø Lafadz الصلاة menurut bahasa berarti do’a, tetapi menurut istilah syara’ berarti ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah.
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat”.
Lafadz shalat dan zakat disini adalah mujmal sehingga memerlukan penjabaran yang lebih jelas. ( Mu’in, 1986: 75)
c. Hukum lafadz Mujmal
Hukum melaksanakan lafadz mujmal harus bergantung pada bayan (penjelas). (Syafe’I, 2007: 151)
4. Mubayyan Menurut Hanafiyah
Menurut ulama’ hanafiyah, mubayyan disebut juga dengan nash.
a. Pengertian
Menurut bahasa, nash adalah Rof’u As-Sya’I atau segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah, Muhammad Adib Shaleh menjelaskan nash adalah suatu lafadz yang menunjukkan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan. (Syafe’I, 2007: 153)
b. Contoh
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ÇËÐÎÈ
Artinya:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Ayat itu menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa hukum jual beli tidak sama dengan hukum riba. (Mu’in, 1986: 61)
c. Kedudukan (hukum) Lafadz Nash
Hukum lafadz nash sama dengan hukum lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis, dan menasakhsnya. Perbedaan antara lafadz zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafadz lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat dalam lafadz zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafadz zhahir dan nash, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakainya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafadz nash. (Syafe’I, 2007: 155)
Menurut hanafiyah ada perbedaan mengenai kedudukan lafadz nash dengan lafadz zhahir, dan lafadz nash itu lebih kuat daripada dzahir. Contoh misalnya tentang halalnya menikahi wanita, menurut lafadz zhahir tidak ada batasan dalam jumlah wanita, sedangkan lafadz nash ada batasan untjk jumlah wanita yang boleh dinikahi.
Contoh Lafadz zhazhir QS. An Nisa ayat 24
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4
“Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”
Contoh lafadz nash
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r&
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki”
Karena kelihatannya ada pertentangan antara zhahir dan nash maka yang didahulukan adalah yang nash.
5. Mubayyan Menurut Syafi’iyah
Menurut Imam Syafi’I tidak membedakan antara zhahir dan nash. Baginya zhahir dan nash ini adalah dua nama (lafadz) untuk satu arti. (Syafe’I, 2007: 162)
a. Pengertian
Ø Menurut Abu Al-Hasan Al-Basri adalah nash menurut batasan imam syafi’I suatu khithab yang diketahui hukum yang dimaksudnya, baik diketahuinya itu dengan sendirinya atau melalui yang lain. Dan mujmal menurutnya disebut juga nash. (Syafe’I, 2007: 163)
Ø Nash adalah suatu lafadz yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil.
(Syafe’I, 2007: 162)
b. Contoh
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 ÇËÐÎÈ
Artinya:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Mu’in, 1986: 61)
c. Kedudukan (hukum) Lafadz Nash
Dilalah nash wajib diamalkan secara pasti dan tidak boleh menyimpang dari dilalah nash tersebut, kecuali apabila ada nasakh. Sedangkan hukum dilalah zhahir wajib diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang memalingnya. (Syafe’I, 2007: 164)
BAB III
ANALISA PEMBAHASAN
Menurut kelompok kami, sebenarnya pembahasan mengenai mantuq mafhum dan mujmal mubayyan itu merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita memahami teks atau lafadz al Qur’an maupun hadist sebagai sumber hukum syara’. Mantuq mafhum merupakan pembahasan mengenai pembagian lafadz jika ditinjau dari dilalahnya (cara menunjukkan suatu makna). Sedangkan mujmal mubayyan merupakan pembahasan mengenai lafadz ditinjau dari kejelasan dan ketidak jelasan arti lafadz itu sendiri.
Al Qur’an merupakan kalam Allah yang dituliskan dalam Bahasa Arab. Sebagaimana kita tahu bahwa Bahasa Arab merupakan bahasa yang kaya akan mufradat atau kosakata. Sehingga suatu kata kemungkinan mempunyai arti beberapa. Oleh karena itulah dalam pembahasan mengenai mantuq mafhum maupun mujmal mubayyan ini ada beberapa perbedaan pendapat, terutama dari kalangan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah, tetapi sebenarnya perbedaan itu bukanlah perbedaan yang mendasar, tetapi hanya perbedaan dalam pengungkapan dan pemetaan atau pembagian. Inti yang mereka ungkapkan sebenarnya sama, bahkan ketika memberikan contoh ayat al Qur’an banyak yang sama.
Misalnya ketika berbicara mengenai lafadz jika ditinjau dari dilalahnya (cara menunjukkan suatu makna), ulama’ Hanafiyah membaginya menjadi empat yaitu: ‘Ibarat an Nash, Isyarat an Nash, Dalalah an Nash, dan I’tiqad an Nash. Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah membagi menjadi 2 yaitu Mantuq yang di dalamnya pembahasnnya sama dengan Dalalah an Nash menurut Hanafiah, dan Mafhum yang didalamnya mencakup ‘Ibarat an Nash, Isyarat an Nash, dan I’tiqad an Nash.
Hanya saja dalam makalah ini yang lebih dibahas adalah mantuq mafhum menurut ulama’ Syafi’iyah, karena pembahasannya lebih terperinci dan lebih mendetail. Tetapi juga melihat pendapat ulama’ Hanafiyah sebagai pembanding.
Begitu juga ketika berbicara mengenai lafadz jika ditinjau dari segi kejelasan dan ketidakjelasannya. Ada sedikit perbedaan yaitu menurut ulama’ Hanafiyah antara nash (mubayyan) itu ada sedikit perbedaan. Sedangkan menurut Syafi’iah baik zhahir maupun nash keduanya sama-sama kalam mubayyan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di depan dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini
1. Lafadz jika ditinjau dari dalalahnya (cara menunjukkan makna) menurut ulama’ Hanafiyah dibagi menjadi empat, yaitu ‘Ibarah an Nash, Isyarah an Nash, Dalalah an Nash, dan I’tiqad an Nash. Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iah dibagi menjadi dua, yaitu mantuq (meliputi Dalalah an Nash) dan mafhum (meliputi Ibarah an Nash, Isyarah an Nash, I’tiqad an Nash)
2. Dalalah Mantuq adalah petunjuk lafadz pada hukum yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri, sedangkan dalalah mafhum adalah petunjuk lafadz pada hukum yang tidak ditunjukkan oleh lafadz itu sendiri. (Syafe’I, 2007: 215). Dalalah mantuq ada 2, yaitu Sharih dan Ghairu Sharih, sedangkan dalalah mafhum ada dua, yaitu Muwafaqah dan Mukhalafah. Untuk mafhum muwafaqah terdiri dari fahwal khitab dan lahnal khitab. Untuk mafhum mukhalafah terdiri dari mafhum syarat, sifat, ‘adat, ghayah.
3. Lafadz jika ditinjau dari segi kejelasan dan ketidakjelasan makna lafadz itu sendiri, menurut ulama’ Hanafiah dibagi menjadi dua, yaitu pertama lafadz yang jelas maknanya terdiri dari zhahir, nash (mubayyan), mufassar, muhkam. Kedua, lafadz yang tidak jelas maknanya, terdiri dari khafi, musykil, mujmal, mutasyabih. Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iah dibagi menjadi dua, yaitu pertama jelas (kalam mubayyan) meliputi zhahir dan nash, kedua tidak jelas terdiri dari mujmal dan mutasyabih.
4. Kedudukan (hukum) Lafadz mujmal menurut Hanafiyah yaitu untuk mencari penjelasan mujmal harus melihat nash al qur’an terlebih dahulu, sedangkan menurut Syafi’iah yaitu untuk mencari penjelasan mujmal harus memerlukan penjelasan. Kedudukan (hukum) lafadz mubayyan menurut Hanafiah yaitu lafadz mubayyan hukumnya wajib diamalkan petunjuknya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan. Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iah wajib diamalkan secara pasti dan tidak boleh menyimpang dari dilalah mubayyan, kecuali apabila ada nasakh.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Tajwid dan Terjemahannya. Bandung. Syamil Cipta Media
Bakri, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul fiqh. Jakarta, Rajawali Pers
Faruq, Ahmad. 2009. Ulumul Qur’an dan Tafsir. http://ahmadfaruq.blogdetik.com/fed/. diakses 23 April 2009
Mu’in, dkk. 1986. Ushul Fiqh II. Jakarta. Departemen Agama
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia
MANTUQ MAFHUM DAN MUJMAL MUBAYYAN
Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih yang dibimbing oleh Nurul Yaqin, M. Pd
Disusun oleh:
Kelompok IV Kelas E
Labudda Marroatul Hasanah NIM 07110058
Siti Mutholingah NIM 07110062
Risa Sulhiana NIM 07110068
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar