Kamis, 16 Februari 2012

WANITA PUCATPASI DI PMI KOTA MALANG

Rabu, 15 februari 2012 kemarin aku liat seorang mbak, dengan wajah lusuh dia termenung duduk di kursi tunggu PMI kota Malang. Dilihat sepintas, tak mungkin dengan wajah pusat pasinya itu dia akan menyumbangkan darahnya. Tanpa berfikir panjang aku terus melangkah ke bagian resepsionis, sambil mendorong temanku agar mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk donor. Tak lama kemudian, petugas bagian periksa HB dan tensi darah memanggil seseorang yang siap donor. Anehnya, dengan tergesa-gesa mbak yang berwajah pusat pasi itu segera beranjak dari duduklamunnya, dan mendekati meja periksa. Dengan sedikit tergesa-gesa, "pak, darah sampean apa?" mbak itu bertanya. Sang bapak belum sempat menjawab, si petugas periksa berkata "ini pak, ibunya lagi butuh darah cepat." "Darah saya O",saut bapak. Kulihat raut pucat dari wajahnya itu sedikit berubah cerah dengan senyum kecil yang tersimpul dari bibirnya. Kemudian petugas periksa tadi berkata, "pak nanti kalau masuk ke ruang donor sampean bilang, saya donornya bu Mujiati, ibunya mbak yang di luar itu". "ya mbak" jawab bapak tersebut

Masih kulihat wajah pucat itu masih mendominasi aura wajahnya. Dan benar, ternyata bapak yang telah masuk tadi adalah donor pertama yang menyumbangkan darah O nya untuk ibunya. ku tahu hal tersebut dari perkataan ptugas periksa, "Kurang 3 lagi mbak, sabaar yaa". Mbak itu kulihat hanya bisa mengangguk. Saat itu, dudukku memang tak seberapa jauh dari anak yang kawatir akan keselamatan ibunya tersebut. Dengan lirih “ Dam, getihmu opo?” aku bertanya. “O, mas”, teman nyanti sekamarku namanya Damiri menjawab. “sip, cocok, podo lek ngono” aku menimpali. “ Ainun Damiri”, petugas periksa memanggil temanku. Diapun akhirnya diperiksa, dan alhamdulillah HB dan tensinya normal. Petugas itu juga berkata pada Damiri, “ mas, nanti kalau di dalam, bilang ”saya donornya bu Mujiati”. ” Ya mbak”. Jawab damiri. Petugas periksa itupun akhirnya memperlakukanku dengan cara yang sama dengan apa yang dia lakukan pada Damiri.

Akhirnya datang waktu dimana temanku dan aku masuk ruang donor. Sekitar 10 menit darah dipompa keluar dari tubuh, kulihat Damiri keluar terlebih dahulu. Tak berapa lama, Akhirnya aku pun keluar. Saat keluar, tak kudapati lagi wajah pucatpasi itu di tempat duduknya semula, kucari-cari tetap tak ada. perasaanku saat itu bercampur baur. Apa yang terjadi? Saat darah O masih terkumpul 3 ampul, mengapa mbak itu hilang? Tak sabarkah dia menunggu satu pendonor lagi? “jangan-jangan, di sudah bergegas ke Saiful Anwar, apa yang terjadi pada ibunya? Aaahh, aku tak mau menerka-nerka”, hatiku bicara. Tak lagi aku punya keberanian, padahal hanya untuk bertanya pada petugas “kemana mbak yang butuh darah tadi pergi”. “Mas, ayo mulih!” , ajak Damiri membangunkan imajiku. Akhirnya kami putuskan saat itu untuk pulang. Sesaat setelah berpamitan dengan petugas periksa dan sebelu kuhidupkan mesin Vega Rku, tiba-tiba Damiri berkata “mbak iku mau ibu’e kenek kanker rahim mas”. Seperti petir di siang bolong, ucapan Damiri itu semakin melemaskan seluruh sendi tubuhku. “ aaayo mas!”, sekali lagi Damiri meyakinkanku untuk pulang. “ Iyo “, jawabku. Akhirnya kami pun kembali menyusuri jalan menuju pondok.