SANTRI MISTERIUS DAN DOANYA (5 nov - 7 des 2013)
Sore tadi, seorang santri berucap, "Kang, kalau ada
jalan lain selain pacaran untuk menikah. Kupilih jalan itu kang. Meskipun jalan
itu pasti terasa sunyi, yang penting Allah, Nabi, dan guru ridho kang. Doakan
aku yo kang". masyallah, gemetar hati ini menerima permintaan doanya.
Beberapa hari berselang, “Gimana sampun istiqomah kang?”
Tanyaku pada santri putra yang kemarin. ''Alhamdulillah, tapi abot kang.
Malahan, ketika kulo mulai lebih mendekati Allah. Cobaan berupa makhluk
terindahnya satu persatu mulai hadir. Terus gimana ini kang? Dengan sedikit
celingukan karena tak bisa menjawab, aku menjawab, ''Aku yo gak ngerti kang,
spurane.”
Meski belum tidur semalaman karena terlena pada taklim kartu remi
plus terpaksa jaga karena yang piket jaga gak tau kemana, pagi ini kusempatkan
menemuinya. Di sela-sela remi tadi malam, aku temukan jawabannya. '' Kang,
mungkin Allah sedang menguji sampean'' jawabku. Sambil mengeluarkan asap rokok
dia menjawab dengan santainya,''Mboten(tidak) kang, tidak mungkin Dia menguji
seseorang yang belum mengenalNya. Sangat belum
pantas kulo ini diujiNya. Sekarang, sepertinya Allah ingin aku mengenalNya
kang.'' seperti keledai yang terjebak di kubangan lumpur, aku menyerah pada caranya
mengambil sudut pandang mencari jawaban. Sekali lagi dia bertanya padaku
sekaligus mengajariku cara menjawabnya dan jawabannya sekalian. Pandangannya
yang luar biasa di pagi ini cukup untuk menjadi bekalku seumur hidup bahkan.
Santri biasa dia sebetulnya, seperti yang lain. Ya ngaji, wiridan,
nderes qur'an, jamaah, dan sesekali sowan ke kyai-kyai. Tak terlihat sedikitpun
keistimewaan yang tampak secara lahir. Fisiknya biasa, pnampilannya juga seperti
biasanya santri, kalau cangkruk ngopi pun obrolannya sama dengan santri-santri
lainnya. Tapi anehnya, ketika berbicara denganku sendiri, sosok biasa-biasa itu
berubah menjadi seorang ustadz yang ngidu geni(omonganya manjur). Hingga setiap
kata yang meluncur dari lisannya tak mungkin aku bantah. Sebetulnya dia juga sering bertanya padaku,
tapi anehnya pertanyannya itu loo, kemudian malah menjadi pertanyaanku dan dia
sendiri akhirnya yang menjawab.
Hidup di Malang kalau tak kuat-kuat pasti akan
mabuk dunia, klenger dalam bahasa Jawanya. Dan sekali lagi godaan itu
datang lengkap dengan fasilitasnya. Sangat mungkin diri ini masuk pada perangkapnya.
semoga bisa melaluinya dengan mengingat ucapanya(santri putra misterius itu),
"Kang, agenda urip kulo sakniki cuma ngibadah, ngaji, kuliah, ngajar, lan
makaryo. Niku kan nggih sampun padet, niku mawon dereng ketambahan mikir jodoh"(Kang,
agenda hidupku sekarang Cuma ibadah, ngaji, kuliah, ngajar, dan kerja. Itukan
sudah padat, apalagi belum ketambahan mikir jodoh.
“Kang menurut sampean, kebaikan dan keburukan
itu apa?'' kalau biasanya dia(konco santri putra kemarin) yang bertanya, kali
ini gantian aku yang bertanya. Dengan gayanya yang khas dia menjawab, ''menawi
pengertiannya, insyallah sampean lebih paham. Tapi menurut kulo keduanya
sama. Semuanya fasilitas untuk angsal(meraih) ridone Pengeran''.
''Kok iso?''(kok bisa?) aku menimpali. '' la iya to, ketika kita
berlari menjauh dari maksiat atau mendekat dengan amal-amal baik, sejatinya saat
itu kita sama-sama berlari menuju Allah''.
Setelah menghela nafas panjang, dia melanjutkan
, ''Begitu juga sebaliknya kang, kebaikan tak ubahnya seperti keburukan ketika
kebaikan hanya menjadi wasilah nafsu-nafsu kita''. Kali ini aku benar-benar
hampir memahami pikirannya.
''kang piye(gimana), apa sampean sudah
berani pdkt''? Tanyaku mengingat awal mula dimulainya percakapan kami. ''Alhamdulillah
setiap pagi sore hari sampun kulo hadiahkan padanya al Fatihah perbaikan dan
istighfar pengampunan, la sampean gimana?'' sekarang giliran dia bertanya.
Akupun bingung mau jawab gimana.
Eeee, gak ada yang menyangka, stelah beberapa
minggu kukagumi dia(santri putra misterius). Kutauladani cara pandangnya pada
dosa dan pahala, prespektifnya pada wanita, dan hikmaH-hikmahnya yangg luar
biasa. Tak kusangka, sebelum dzuhur tadi, ketika aku sedang mencari2 tugas di
sebuah warnet, kusaksikan dia sedang melahap sajian segar film blue. ''jancok,
asu, babi,'' wa ala alihi washohbihi tiba-tiba kata-kata itu meluncur dari bibir ini. Umpatan itu tepat keluar di
hadapan kedua bola matanya. Dia hanya tertunduk diam sambil memerah wajahnya. Otomatis
user-user dan operator internet berdiri, penasaran ingin tahu apa yang terjadi.
Operator bergegas menuju arah kami, sepertinya ingin melerai. Dan aku yang
terlanjur emosi memutuskan untuk sipat kuping(bergegas) meninggalkannya,
karena takut tangan ini akhirnya ikut mengumpat dengan caranya sendiri. Suntuk
karena deadline tugas-tugas kuliah, target-target hidup, dan hujan terus
cuacanya. Akhirnya kumantapkan niat untuk pulang. Meskipun hujan lebat,
sahabatku Aang mau mengantarkanku ke Stasiun Kotabaru. Setelah bersalaman, kami
berpisah. Kunaiki kereta Tawangalun yang dari jendelanya kulihat dari tadi awan
menyelimuti Malang sampai Bangil dan menuangkan hujannya.
Sesampainya di Banyuwangi desaku yang
kurindukan. Antara sadar dan tidak, sayup perlahan kulihat laki-laki tua
berbaju dan berpeci hitam menghampiriku. ''Nak, darinya kau akhirnya tahu
seberapa bijak akhlak ucapanmu. Bukankah kau sendiri juga pernah berujar bahwa
mutiara tetap mutiara, meski keluar dari mulut seekor anjing?''. Sambil merubah
letak slendang putihnya, dia menghentikan ucapannya. sebagaimana biasanya
mimpi, pasti orang ketiga yang dimaksud
dalam percakapan itu sudah bisa ditebak, ya pasti santri misterius itu lagi.
Sejurus kemudian, kakek tadi tiba-tiba merogoh saku celanaku. Ajaib, dia
mengeluarkan 1 cepet rokok surya 12. Padahal aku tak merasa pernah
memasukkannya. Dan lagi semenjak rabu 27 nopember kemarin aku berazam berhenti
merokok. Kemudian dia berujar, ''Anakku, kalau rokok yang kau anggap merusak
badanmu, hingga kau tinggalkan itu saja sampai sekarang masih ada dalam hatimu,
bagaimana engkau bisa melepaskan seorang yang nyatanya memberi banyak hikmah
plajaran hidup bagimu?''. Terperanjat, byaar, aku akhirnya terbangun dari
tidurku. karena penasaran, Kurogoh saku clanaku. Ternyata kutak dapat satupun
saku. Aku baru ingat klo malam ini aku tidur pakai sarung. Sambil membenarkan
posisi gulungan sarung, pikiran ini terdilema, antara tahajjud dan mapan tidur
lagi. Akhirnya kuputuskan mapan dengan membaca 1 tahlil, 1 fatihah, dan 27 astaghfirullahlilmukmininwalmu kminat,
dengan niat khusus untuknya.
Cukup beberapa hari untuk mengobati rindu pada
Ibu, Ayah, dan adik-adik, kuputuskan segera kembali ke perantauan. sebelum
berangkat, sejenak kupandang dalam wajah Ibu dan Ayah. kulihat garis dahi
mereka semakin jelas. dalam hati aku berkata, “Allah, tetapkan ingatanku untuk
selalu melihat mereka tersenyum, karena cahaya cerah wajah mereka adalah doa
yang cukup besar dan panjang bagiku.” Kereta Tawang Alun teman pilihanku untuk
mengantarkanku pada kotaku yang kedua. Sesampainya
di Malang, tak langsung kutemui dia(santri putra misterius) untuk minta maaf.
Hawa kakek tua berbaju hitam yang menelanjangi kekuranganku itu sampai saat ini
masih terasa. Tak biasanya aku gugup, hingga harus merencanakan rangkaian kata
maaf yang harus kuucapkan padanya. Sambil tiduran di kamar al-Ashoy, kamar yang
katanya santri-santri lain menjadi kamar panti bagi jomblo-jomblo yang bersungguh-sungguh mencari pasangan hidup. Tiba-tiba
kuteringat hadits yang pernah diajarkan salah satu mentor panti Jomblo al
Ashoy, Pak Enjang namanya, "ketika seseorang mencela pelaku maksiat maka
suatu saat dia akan dicoba dengan maksiat yang sama", maknanya kurang
lebih seperti itu. Kuingat-ingat, ternyata dua hari berselang semenjak kuumpat
dia dengan makian kotor. Tak seperti biasanya, kok sering sekali gadis-gadis
cantik seolah berpose di hadapanku, hingga lensa mata yang bergiga-giga pixel
ini tak kuasa untuk tidak menjepret dan menyimpannya dalam memori hitam hati
ini. "Astaghfirullah", padahal belum selesai kalimat maaf itu
terangkai, bayangan gadis-gadis itu muncul tergambar jelas dalam pikiran.
"Astaghfirullah" untuk kedua kalinya, bukannya sadar menyesal akan
karma, kunikmati imaji lekuk tubuh mereka, meski dalam beberapa detik.
"PET", lampu kamar tiba-tiba mati, membuatku terbangun dari lamunan
indah yang munafik. Tarkhim dari masjid sebelah mulai berkumandang. Kuputuskan untuk mandi menghilangkan bekas
bau-bauan lokomotif. sambil menuju kamar mandi, aku bergumam, "susunan
kalimat maaf itu akan selesai di kamar mandi".
Setelah mikir lama di jeding, akhirnya
hati dan akal ini sepakat memilih kalimat, "sepurone yo coo?",
cukup singkat dan ideal bagi senior yang masih merasa masih ingin dituakan,
padahal jelas-jelas sudah melakukan kesalahan. setelah berpakaian yang kata
sebagaian orang stylenya santri, segera kulangkahkan kaki ini menuju
masjid. Seperti biasa aku baru berangkat ke mesjid ketika pujian
shalawat mulai terdengar lemas, "hawa-hawane
iqomat" menurut bahasa konco-konco santri kamar Muria. Ternyata
benar, baru tiga langkah kaki terdengar iqomat, semakin kupercepat langkahku. Dalam
keterlambatan itu masih sempatnya kuberpikiran untuk mendapatkan bagian shof
pertama. Dan ternyata benar, aku berhasil berdiri di posisi shof pertama
yang kata Nabi jika ada yang tahu besarnya fadlilahnya, maka semua orang rela
berebut undian dan berjalan ngesot untuk mendapatkannya. Aku baru tersadar,
ternyata selama ini yang berangkat terlambat tidak hanya diriku. sambil
menunggu imam mengangkat takbiratulihrom, kusempatkan melirik rombongan yang
terlambat sepertiku. Diantara rombongan telat itu, ternyata kulihat sosok
santri misterius yang malam ini juga aku harus minta maaf padanya. Kehadirannya
sebelum shalat maghrib ini membuat kosentrasiku tambah tidak konsen. Akhirnya,
sepanjang shalat yang kupikirkan hanya bagaimana nanti mintamaaf padanya. Hingga
tak kusadari tiba-tiba sudah tahiyyat akhir. setelah membaca tasyahud
dan shalawat, kuputuskan membaca doa yang tidak biasanya kubaca, "Allahumma
ij'al sayyiatina sayyiaati man ahbabta, wala taj'al hasanaatina hasanati man
abghadltah", "Ya Allah jadikanlah keburukanku sebagai keburukan
yang engkau senangi. Dan jangan engkau jadikan kebaikanku sebagai kebaikan yang
engkau benci." Karena maksiat yang menuntun pada pintu taubat, lebih baik
dari pada amal baik yang akhirnya mengundang marahNya. ya kurang lebih seperti
itu aku pernah dengar di pengajian shubuh dari kyai kami, maklum aku sering
ngaji sambil tidur atau tidur sambil ngaji.
Jarum pendek jam menunjuk antara 8 dan 9,
sedangkan yang panjang berhenti di angka 6. menandakan jam pelajaran diniyyah
selesai. "Wallahu a'lam bisshawaab", kalimat yang dari tadi
kami tunggu-tunggu akhirnya terdengar keluar dari suara ustadz kami, kemudian
disusul dengan doa dan salam. Sambil masih
membawa kitab diniyyah kuputuskan langsung menuju kamarnya,sebelum kedahuluan dia berangkat ngopi di Makyem. Dengan
gerak ragu kubuka pintu kamarnya. Kulihat beberapa santri junior dengan
stikgamenya sedang asyik. "Aaah, kurang penting mengurusi mereka, kalaupun
mereka mbolos ngaji, aku juga pernah," pikirku. Pandanganku kemudian
tertuju pada sosok yang ada di pojok kamar. Kuhampiri dia, "Kang, sepurane
yoo?" pintaku padanya. Tak kupedulikan senioritasku dihadapan
junior-junior itu. Seperti patung, mereka berhenti sejenak ngegame sambil memandangi kami yang sedang saling menunduk.
Tak kupedulikan tingkah mereka, sekarang yang ada hanyalah saudara yang ingin
menyambung silaturrahim kembali. Sedangkan dia, terlihat diam menunduk, entah
karena malu, marah, atau apalah. Sejurus kemudian, dia mendekat, berbisik
padaku, "Kaang, sampean ndak usah minta maaf, gara-gara pisuhan(kata-kata
kotor) sampean itu, sekarang aku punya doa baru yang mungkin juga sampean
butuhkan. "Ya Allah aku minta Engkau segera menyudahi maksiat pandanganku
dengan segera menikahkanku”. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum sambil
bergumam dalam hati, "Doa itu, ya doa itu adalah bentuk nyata dari doaku
tadi saat tahiyyatakhir shalat maghrib, Aamiin." Sekali lagi dia menjadi
penjelas beberapa konsep yang belum aku pahami. "Ayo kang budal ngopi," ajakannya
menyadarkanku dari lamunan. "Ayoo, tapi aku jangan ditawari rokok
yoo?" Kamipun berangkat Meski harus sedikit berlari dan mencincing sarung
karena gerimis. Wallahuwaliyyuttaufiq.
Semoga bermanfaat.
by Ahmad Nanda Trisna Putra.