Senin, 28 Maret 2011

OBSERVASI TELASAN TOPAK ATAU KUPATAN DI DESA SRESEH MADURA .karya didik kontrakan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Negara kita Indonesia negara yang kaya akan kebudayaan dan juga keanekaragaman suku-suku dan juga kekayaan flora dan fauna, dan juga kebudayaan islam.  Namun apakah kita sebagai warga negara indonesia khususnya umat islam sudah mengenal semua jenis kebudayaan islam yang ada di Indonesia.
kebudayaan-kebudayaan islam yang ada di Indonesia yang tidak kita ketahui secara keseluruhan, karena setiap daerah, desa, suku, bahkan kelompok, di Indonesia memiliki tradisi, keunikan dan juga keanekaragaman masing-masing yang mereka pertahankan sejak zaman nenek moyang mereka. Di daerah di madura ada upacara-upacara ritual seperti halnya “rokatan” yang dilakukan  di makam yang di keramatkan untuk mengharapan keselamatan dan rizki. Di bulan sya’ban ada tradisi-tradisi yang semua warga telah bertamu ke rumah warga lainnya untuk memberi makanan atau tukar makanan. Dan masih banyak tradisi-tradisi yang tidak mungkin penulis sebutkan secara satu persatu..
Seperti tradisi-tradisi maupun upacara-upacara yang disebutkan diatas mempunyai aturan-aturan atau cara mainnya yang selalu mereka anut dari Sejak zaman nenek moyang mereka, dan masih sangat mengandung nilai-nilai mistik yang di sakralkan oleh penganutnya. Jika ada yang melanggar mereka percaya akan ada bala’ yang akan menimpa mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keanakaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian tentang kebudayaan-kebudayaan islam yang ada di indonesia khususnya kebudayaan yang ada di pelosok-pelosok desa terpencil termasuk kebudayaan tujuh hari setelah hari raya idul fitri “KUPATAN atau TELASAN TOPAK” Di  desa Sreseh.


B.     Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Kupatan atau Telasan Topak ?
  2. bagaimana sejarah Kupatan atau Telasan Topak ?
  3. bagaimana jalannya upacara dan prosesi “Kupatan atau Telasan Topak” di jawa-madura khususnya desa Sreseh ?

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat di karenakan masyarakat saat ini mengedepankan itba’ atau mengikuti para leluhur-leluhur sebelumnya. Dari sinilah masyarakat enggan mengkaji bagaimana dan darimana kebudayaan ini berasal. Dengan demikian penelitian ini akan mampu memberikan data-data tentang apa saja yang menjadi adat atau kebiasaan kehidupan masyarakat desa Sreseh saat ini dan bagaimana sejarah sehingga ini menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat di daerah jawa-madura khususnya desa Sreseh.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kebudayaan yang  berbasis agama dengan focus seberapa jauh ketertarikan masyarakat desa Sreseh tentang budaya yang diwariskan oleh nenek moyang, apa yang mempengaruhi serta dampak terhadap kehidupan masyarakat.
 Tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menemukan latar belakang yang mendasari terjadinya tradisi TELASAN TOPAK. Dengan demikian dapat diketahui pula bagaimana masyarakat desa Sreseh memelihara tradisi turun-temurun di daerah mereka.

D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang nyata bagi subjek, untuk mengkaji ulang bagaimana dan darimana kebudayaan ini berasal, pemerhatian sosial budaya, aktivis, mahasiswa, dan semua elemen yang membutuhkan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumber rujukan bagi siapapun yang membutuhkan untuk memperdalam keilmuannya pada masyarakat, sekaligus mampu dijadikan perbandingan dengan budaya lain. Dan tentunya bagi masyarakat desa sreseh, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan, mengenai kebudayaan masyarakat yang hidup didesa Sreseh.








BAB II
KAJIAN TEORI

Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal atau jati diri bangsa. Kita sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa kebangsaan kita akan kesenian daerah.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya baik dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam. Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominan mewarnai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang bernafaskan religius, terutama bernuansa Islami temyata lebih menonjol. Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang ada di Madura menunjukkan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.[1]
 Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari-kehari didalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaanya sendiri.



Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaanya itu menghasilkan suatu unsur kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus; atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus; atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsure-unsur yang lebih besar. Berdsarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain[2].
Guna mengetahui dan memahami serta menginterpretasikan secara baik berbagai gejala dan peristiwa yang terdapat dalam suatu lngkungan tertentu, kebudayaan memiliki model-model kognitif yang berperan sebagai kerangka untuk memahaminya. Oleh karenanya pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkan oleh makhluk manusia adalah sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, suatu kebudayaan yang merupakan serangkaian aturan, strategi, maupun petunjuk; adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang memilikinya guna menghadapi lingkunganya.
Permasalahannya, sejauh manakah dalam kenyataannya kebudayaan kebudayaan dari makhluk manusia, baik dalam konteks etnik maupun golongan social; melihat, menginterpretasi dan kemudian mengadaptasikan dirinya dengan suatu lingkungan fisik tertentu. Dengan kata lain, sejauh manakah kebudayaan yang dimiliki oleh suatu komunitas tertentu dipakai sebagai suatu strategi adaptasi dalam menghadapi suatu lingkungan biogeofisik tertentu sehinggga ia tetap mampu melangsungkan kehidupannya. Selanjutnya timbul suatu pertanyaan mengenai sejauh manakah kemampuan untuk tetap dapat melangsungkan kehidupanya itu di anggap ‘layak’, terutama dalam konteks ‘kebudayaan pembangunan yang berkelanjutan’ dan mausiawi.[3]
Pemahaman terhadap lingkungan, seperti halnya pemahaman terhadap segala realitas, terungkap dalam kategori-kategori konseptual yang tersediakan secara budaya dan dalam budaya. Dengan demikian pengamatan mengenai cara suatu budaya mengkategorisasi dan mengkon-septualisasikan lingkungannya akan membuat kita  mengetahui sesuatu tentang klasifikasi taksonomis budaya tersebut mengenai alam.


Bahkan dari sana dapat kita ketahui pula sesuatu mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh warga budaya yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya hal yang mereka capai tidak hanya bergantung pada cara “pengorganisasian lingkungan dalam kategori-kategori verbal yang disusun oleh mereka yang menggunakannya”. Keberhasilan itu juga bergantung pada sifat-sifat objektif tersebut.[4]
Kebudayaan Indonesia di masa lalu di warnai oleh dualisme. Ungkapan “desa mawa cara, Negara mawa tata: menunjukkan adanya dua subsistem dalam masyarakat tradisional. Keduanya merupakan unit yang terpisah, bahkan sering saling bertentangan, dan pantang memantang, namun karena sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan, dominasi kebudayaan kraton memencarkan sinarnya ke kebudayaan desa, tetapi tidak sebaliknya.
Demikianlah penyebaran kebudyaan tinggi terjadi di lingkungan budaya rakyat, sehingga misalnya mitologi dalam Babat Tanah Jawi dan karya-karya pujangga kraton, Yasadipura, Mangkunegara IV, dan Ranggawarsita merasuk ke desa-desa. Pembudayaan desa itu bertujuan menegaskan legitimasi penguasa untuk melestarikan tertib dan pelapisan social. Akibatnya system kebudayaan seutuhnya didaku (Bahasa Jawa:di anggap milikku)oleh pusat kerajaan sebagai pusat kreatifitas yang sah.
Sebaliknya desa hanya di akui sebagai daerah pinggiran budaya, dan kreatifitasnya hanya dianggap sebagai karya yang belum selesai dan mentah. Pembedaan kebudayaan secara kategoris diberi sangsi-sangsi magis, sebagai nampak dalam konsep kesiku, sehingga tembok pemisahnya tidak dapat ditembus.[5]

Kebudayaan (berasal dari kata latin cultura akar kata dari colore yang berarti mengolah) umumnya menubnjuk pada aktifitas mnusia dan susunan masyarakat simbolis yang memberi arti yang serupa dan kepentingan. Budaya-budaya dapat menjadi “pemahaman atas system symbol dan makna atas penciptaan kontes, yang kekuranga batas-batas kesulitan, yang terus menerus mengalami perubahan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain” definisi berbeda tentang kebudayaan menggambarkan teori dasar yang berbeda tentang pemahaman atau criteria untuk mengefaluasi, aktifitas manusia.

Kebudayaan diwujudkan dalam musik, kesusastraan, gaya hidup, menggambar  dan seni pahat atau ukir, teater dan film, dan beberapa kiasan lain. Meskipun beberapa orang mengidentifikasikan budaya dalam istilah mengkonsumsi (sebagai mana dalam budaya tinggi, budaya rendah, rakyat bangsa atau budaya yang terkenal). Pemahaman antropologi budaya tidak hanya untuk memahami tentang consumption goods, melainkan untuk proses-proses yang serupa dengan goods dan memberi mereka arti, dan untuk hubungan sosial dan praktek yang serupa objek-objek dan proses ditanamkan. Untuk mereka, budaya yang demikian itu sebagai system moral.
Sebagian besar orang awam menggunakan istilah budaya untuk menunjukkan pada dunia pengalaman simbolis mereka. Capacity ini telah dipakai sebagai definisi keistimewaan manusia. (meskipun para ahli primatologi mengidentifikasikan aspek budaya antara kedekatan sanak saudar dalam kerajaan domestik). [6]




















BAB III
HASIL OBSERVASI
 
A.    SEJARAH DESA 
Sreseh adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Sampang Pulau Madura, tepatnya di bagian paling selatan Kab. Sampang, yang berbatasan langsung dengan Kab. Bangkalan. Karena letaknya berada di tepi laut, membuat suhu di Sreseh terkadang sangat panas, sehingga berpengaruh pada pola perilaku penduduknya.
Penduduk desa ini mayoritas hidup dari hasil laut ada juga dari pertanian. Hasil laut yang di dapat adalah ikan Caek, la’beng, kempit, krapoh dan lain-lain yang tidak bisa dijelaskan oleh peneliti. Kerena kondsi laut serta aneka macam ikan yang bervariasi. sementara hasil pertanian yang didapat selain tanaman jagung dan padi yang ditanam setiap musim karena   kondisi geografisnya kurang strategis.
Kehidupan dan pola hidup yang sudah moderen di masyarakat Sreseh  tidak mengurangi nilai-nilai keagamaan serta  nilai-nilai sosial diSreseh. Hal ini digambarkan dengan adanya Kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan di Desa Sreseh, seperti: arisan terbangan (hadra), sarwahan, diba’an. Arisan yasinan, Dan kegiatan-kegiatan social seperti gotong royong, hal itu diSreseh masih konsisten di lakukan oleh masyarakat di sana, termasuk  menyambut hari raya idul fitrih yang kemudian di janjutkan dengan perayaan KUPATAN atau TELASAN TOPAK.[7]
Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng, Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa. Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah putera yang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang baik, sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo.
B.     ASAL-USUL TEMA
Asal-usul KUPATAN (bahasa jawa) atau TELASAN TOPAK (bahasa madura) berasal dari budaya jawa yang mempunyai arti “mengaku salah” yang di simbolkan dengan ketupat. Ketupat itu pada zaman Kerajaan Islam Demak Bintoro yang pada waktu itu dipimpin oleh Raden Patah yang mempunyai penasehat kerajaan yaitu Sunan Kalijogo yang menganjurkan agar prajurit-prajurit setelah berperang merayakan kemenangannya dengan ketupat sebagai symbol kemenangan.
Jika dilihat dari keterangan di atas, sekarangpun makna dari TELASAN TOPAK yaitu merayakan kemenangan setelah menjalankan puasa sebagai sarana saling memaafkan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dari sinilah muncul bahwa ketupat adalah symbol kemenangan umat islam.

C.    TEMA
Perayaan tujuh hari setelah hari raya idul fitrih yang ditandai dengan TELASAN TOPAK didaerah sreseh lebih unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain baik di Madura  maupun di Jawa. Hal ini disebabkan karena suasana TELASAN TOPAK lebih ramai dibandingkan pada waktu  setelah shalat idul fitrih, karena didaerah Sreseh terdapat suatu tradisi yang membuat suasana pada waktu perayaan TELASAN TOPAK lebih ramai.
Tradisi tersebut adalah dimana masyarakat didaerah Sreseh melepas satu atau dua ekor sapi kelaut atau pantai yang di iringi dengan musik tradisional dan leher sapi tersebut dihiasi bermacam-macam benda, uang, buah-buahan dan KETUPAT yang sudah dimasak, kemudian hiasan-hiasan yang ada dileher sapi tersebut diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya siapa yang paling banyak mendapatkan hiasan-hiasan, orang tersebut mempunyai keberuntungan, selain mendapatkan keberuntungan juga dipercaya sebagai penolak balak. Tradisi ini dirayakan setiap tahun tepatnya tujuh hari setelah perayaan hari raya idul fitih.
Masyarakat sreseh mengatakan tidak  akan menghilangkan budaya ini karena mereka sadar akan pentingnya kebudayaan tersebut bahkan tradisi tersebut akan semakin ditingkatkan karena jika kebudayaan ini hilang suasana perayaan TELASAN TOPAK didesa Sreseh biasa-biasa saja.




BAB IV
PENUTUP


1.      Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa TELESAN TOPAK adalah sebuah perayaan yang menandai kemenangan umat islam setelah menjalankan puasa selama 1 bulan sebagai sarana mendekatkan diri dengan Allah swt,  Dulu TELASAN TOPAK  merupakan perayaan para prajurit atas kemenangannya setelah berperang dalam medan tempur yang dismbolkan dengan ketupat.  TELASAN TOPAK dilaksanakan tepat 7 hari setelah perayaan hari raya idul fitrih yang dimeriahkan dengan pelepasan satu atau dua ekor sapi  kelaut atau pantai, sapi-sapi tersebut dihiasi bermacam-macam benda dan ketupat.

2.      Saran
Sebaiknya pemerintah Desa Sreseh memperhatikan ciri khas perayaan TELASAN TOPAK dan tradisinya dalam rangka merayakan kemenangan setelah menjalankan puasa selama 1 bulan yang tradisi tersebut belum begitu dikenal oleh pemerintah desa Sreseh baik itu menyangkut tempat berlangsungnya acara yang berada jauh dari kecamatan maupun ikon dari tradisi tersebut.  Dan sebaiknya pemerintah desa Sreseh mendanai perayaan tradisi tersebut karena dana yang dipakai untuk perayaannya adalah dari sumbangan masyarakat desa Sreseh yang mata pencahariannya adalah nelayan dan petani.
Dan penulis menyadari, hasil observasi yang ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan bantuan pembaca untuk memberikan sarana dan masukan kepada penulis, agar untuk penulisan makalah yang  selanjutnya dapat lebih baik dan sesuai dengan yang kita harapkan.

DAFTAR  PUSTAKA


Arifin Mansur Noor 1990, Islam In An Indonesian World : Ulama Of Indonesian
Clifford Geertz 1979, The Relegion Of Java, Chicago and London : Univercity Of Chicago
Dokumentasi Desa.
Kaplan, David. Robert A. Manners.  1999, The Theory of Culture, Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta.
Kuntowijoyo, 2002. Kebudayaan nusantara. Bandung: CV. Remaja Rosda Karya.
Poerwanto, Hari. 2000, Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Puspowajdojo, Soerjanto.1993, Strategi Kebudayaan.suatu Pendekatan Filosofis Jakarta. Gramedia Pustaka Utama


[1] .Arifin Mansur noor 1990 Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura.
[2] Clifford geertz 1979, The Religion Of Java
[3] Dr. Hari Purwanto Hlm, 119
[4] David Kaplan &Robert A. Manners Hlm, 122
[5] Kuntowijoyo hlm 74
[6] Soerjanto poespowardojo, Hlm 87
[7] Dokumentasi desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar