Sabtu, 24 Desember 2011

RESUME USHUL FIQH (ISTIHSAN, ISTISHAB, SYAR'U MAN QABLANA, URF, SADZ DZARIAH)

ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau Mengembalikan sesuatu kepada yang baik. (Syekh Abdul Khallaf)
Sedangkan menurut istilah, Ulama’ Ushul fiqh mendefinisikan berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian “istihsan”. Di antaranya adalah :
1.    Menurut Imam Al-Ghazali istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. (Rachmat Syafe’I, 2007:111)
2.    Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab al-Maliki berkata Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global. (Rachmat Syafe’I, Ibid)
Macam-macam Istihsan
Ulama’ Hanafiyyah membagi Istihsan menjadi 6 macam, yaitu : ( Nasrun Haroen,1996:107-105)
1.    Istihsan bi al-Nash ( Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misal Istihsan dengan sunnah Rasul dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatu kedalam kerongkongannya dan tidak menahan puasa sampai berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Rasul yang menyatakan :
منْ اكلَ أًوْ شَرِبَ ناسياً فلا يُفْطِرُ فإ نّما هو رِزْقٌ رَزَقَََهُ اللهُ
“ barang siapa makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya karena hal itu merupakan rizqi yang diturunkan Allah kepadanya”. (H.R. al-Tirmidzi).
2.    Istihsan bi al-Ijma’ ( Istihsan yang didasarkan kepada Ijma’)
Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah ketentuan umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh karena itu para ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
3.    Istihsan bi al-Qiyas al-khafiy ( Istihsan berdasarkan Qiyas yang tersembunyi)
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menerut ketentuan qiyas jally (qiyas yang nyata), waqaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati atau untuk mengalirkan air kelahan pertaniannya melalui tanah tersebut tidak termasuk dalam akad waqaf kecuali jika dinyatakan dalam akad. Sedangkan menurut qiyas al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) waqaf itu sama dengan sewa-menyewa, karena maksud dari waqaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad waqaf sekalipun tidak dijelaskan dalan akad. Apabila seorang mujthid mengambil hokum kedua maka ia disebut berdalil dengan istihsan.
4.    Istihsan bi al-Maslahah ( Istihsan berdasarka kemaslahatan)
Ulama’ Malikiyyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi untuk kemaslahatan pasien, menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat padanya.
5.    Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya sama dengan Istihsan yang berdasarkan ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang dipakai.
6.   Istihsan bi al-Dharurah ( Istihsan berdasarkan keadaan Darurat)
Artinya, ada keadaan - keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas, misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut karena sumur sumbernya dari mata air yang sulit untuk dikeringkan, akan tetapi ulama’ Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air kedalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.



Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqih dalam menetapkan Istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
2.2.1    Ulama’ Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan Istihsa. Begitu juga dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya Istihsan.
2.2.2     Ulama’ Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya Istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam abu Hanifah. Imam Malik juga sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan.
2.2.3    Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya Istihsan. (Rachmat Syafe’I, 2007:112)

ISTISHAB
Istishab berasal dari bahasa Arab yaitu Istishaba- Yastashabu- Istishaban yang artinya adalah minta bersahabat atau membandingkan sesuatu atau mendekatinya. (Nasroen Haroen, 1997: 128)
Sedangkan istishab menurut istilah adalah:
1.    Imam Ghazali mendefinisikan istishab berpegang pada dalil akal / syara’ bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya, dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hokum tersebut, maka hokum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya.
2.    Ibnu Hazm (tokoh aliran fiqih zhahiriyyah) mendefinisikan istishab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat/hadist) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hokum tersebut.
            Kedua definisi ini pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum- hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hokum tersebut. (Nasroen Haroen, 1997: 128)
    Istishab menurut ulama’ ushul fiqih ialah menjadikan hokum yang telah ada pada masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang merubahnya. (Zainal Abidin Ahmad,1975:180)
Oleh sebab itu, apabila sesorang mujtahid ditanya tentang hokum yang tidakditemukan nashnya dalam Al- Qur’an dan As- Sunanah juga tidak ditemukan dalil syara’ yang mengitlakkan hukumya, maka hukumnya adalah boleh bedasar  kaidah
 ﺍﻷﺼﻞ ﻔﻰ ﺍﻷ ﺷﻴﺍﺀ ﺍﻼﺀ ﺒﺍﺤﺔ
Yaitu kaidah “pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
Yaitu suatu keadaan pada saat Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang merujukan atas perubahan dan kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat asalnya. (Rachmat Syafe’I, 2007: 125)
Macam- Macam Istishab
    Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:
1.    Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang membatalkannya). Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkankaidah bahasa.
4. Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk  mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.(Nasrun Haroen,1997:131-133)
Kehujahan Istishab
 Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
1.    Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya. (Mukhatar Yahya 1993: 112)
2.  Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.( Wahab al- Zuhaili:867)
3.  Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya. (Muhamad Abu Zahrah, hal.287)
     Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW.
Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).
SADD AL-ZARI’AH
Menurut istilah
    sadd al-zari’ah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqih sebagaiman dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd al-zariah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Ada dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqih:
    Dzariah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Dzariah dilihat dari jenis kemafsadatannya
Imam Al-Syatibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah terbagi kepada 4 macam
•    Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafasadatan secara pasti
•    Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan.
•    Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan.
•    Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan
Kehujjahan
•    Ulama’ Hambaliyah dan Malikiyah, menyatakan sepakat dengan digunakannya saddud dzara’i sebagai dalil syara’. Dan adapun alasan kedua ulama’ ini adalah dalam surat al-An’am: 1O8.
Ada dua sisi cara memandang saddud dzara’i yang dikemukakan para ulama’ fiqih
•    Dari sisi motivasi yang melatar belakangi seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram.
•    Dari sisi akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu.
MADZHAB SAHABI
Madzhab sahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak menjelaskan hubungan terhadap suatu kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Kehujjahan 
•    Abu Hanifah tidak memandang pendapat seorang tertentu di antara sahabat sebagai hujjah. Abu Hanifah sendiri bisa mengambil pendapat seseorang di antara sahabat yang di kehendakinya. Dalam satu peristiwa beliau mengambil pendapat mana saja diantara pendapat sahabat.
•    Sedangkan kata-kata Imam Syafi’i yang jelas adalah bahwa beliau tidak memandang seorang tertentu diantara mereka sebagai hujjah dan beliau memperkenankan menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad mengenai istimbath pendapat lain, karena pendapat mereka itu adalah pendapat yang dilakukan secara perorangan dari orang-orang yang tidak ma’sum. pendapat ini didasarkan pada sahabat sendiri yang boleh menentang pendapat sahabat lain, berarti para mujtahid sesudahnya boleh menentang mereka

URF
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam

•    Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
•     Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2.    Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :

•    Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’.
•     Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara.
3.    Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :

•    Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang.
•    Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.

Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan umum nash.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar